MAKALAH HUKUM LAUT: Perairan Pedalaman di Indonesia Sesuai UNCLOS 1982
MAKALAH
Perairan Pedalaman Berdasarkan UNCLOS 1982 dan Aplikasinya di Indonesia
OLEH
:
MARIA V. DA ROSA WEGO
(1602010026) |
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
NUSA CENDANA
2017/2018
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkatnya
saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik.
Ucapan
terima kasih ditujukan kepada dosen pengasuh mata kuliah yang telah memberikan
tugas ini kepada saya dan teman-teman kelas F untuk dapat diselesaikan sehingga
memperluas pemahaman kami sebagai mahasiswa Fakultas Hukum. Tak lupa pula saya ucapkan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung baik moril maupun materil. Yang dengan caranya
masing-masing telah menyukseskan penulisan makalah ini.
Tak
ada gading yang tak retak. Saya menerima segala kritik dan saran yang bersifat
menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, semoga apa yang telah saya tulis
bermanfaat bagi pembaca sekalian. Aegroto
dum anima est, spest est.
Kupang, 16 Maret 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar
.................................................................................................................
|
i
|
Daftar
Isi ............................................................................................................................
|
ii
|
Bab
I PENDAHULUAN
...................................................................................................
|
1
|
1.1 Latar Belakang
..............................................................................................................
|
1
|
1.2 Rumusan Masalah
.........................................................................................................
|
2
|
1.3 Tujuan Penulisan
...........................................................................................................
|
2
|
1.4 Metode Penulisan ..........................................................................................................
|
2
|
Bab
II PEMBAHASAN
....................................................................................................
|
3
|
2.1 Pengertian Perairan Pedalaman
.....................................................................................
|
3
|
2.2 Pengaturan Perairan Pedalaman
Indonesia ...................................................................
|
5
|
2.3
Hubungan Perairan Pedalaman dengan Rezim Hukum Laut Lain
..............................
|
7
|
2.4 Aplikasi Rezim Perairan
Pedalaman di Indonesia ......................................................
|
11
|
Bab
III PENUTUP
............................................................................................................
|
17
|
3.1 Simpulan .......................................................................................................................
|
17
|
3.2 Saran .............................................................................................................................
|
17
|
Daftar
Pustaka
..................................................................................................................
|
18
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 30 April 1982 merupakan suatu
pertemuan bersejarah dimana perundingan terjadi setelah melewati proses panjang
selama delapan tahun guna membentuk kerangka konvensi Hukum Laut III atau empat
belas tahun berlalu setelah Duta Besar Malta untuk PBB, Arvid Pardo, meminta
perhatian dunia akan perlunya rezim hukum baru yang mengatur pengelolaan laut
lebih lanjut dan substansi yang melatarbelakanginya, termasuk bagaimana
perjuangan Indonesia mewujudkan keadulatan wilayah lautnya.
Pada awalnya
berdasarkan keputusan Territoriale Zee en
Maritieme Kringen Ordonnantie (TZMKO), wilayah laut Indonesia, hanya 3 mil
dari garis batas pantai pulau. Artinya, perairan diantara pulau-pulau yang
jaraknya lebih dari 3 mil adalah laut Internasional. Wilayah teritorial
Indonesia didasarkan TZMKO sangat kecil, dan banyak kapal-kapal asing
berlalu-lalang diantara pulau-pulau Indonesia. Dengan semangat kebangsaan yang
tinggi dan tekad bulat memperjuangkan kedaulatan Indonesia, maka tanggal 13
Desember 1957, Perdana Menteri Ir. Djoeanda, mendeklarasikan kepada dunia bahwa
laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam
Kepulauan Indonesia, yang dikenal sebagai “Deklarasi Djoeanda”. Deklarasi
dengan (prinsip- prinsip) negara Nusantara (Archipelagic
State) ini meskipun mendapat tantangan dari beberapa negara besar, melalui
perjuangan panjang, akhirnya diterima dan ditetapkan di dalam konvensi hukum
laut PBB.
Dengan terbitnya
UNCLOS 1982 tersebut yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam
Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 di Indonesia maka
membawa konsekuensi logis bagi bangsa Indonesia yaitu adanya amanat yang harus
dilaksanakan berupa hak-hak dan kewajiban dalam pengelolaan wilayah kelautan
Indonesia berdasarkan hukum internasional. Bahwa Indonesia adalah negara
Kepulauan Nusantara yang memiliki area laut yang luas, termasuk area perairan
pedalaman yang juga saling terkait dengan rezim-rezim hukum laut lainnya.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Pengertian Perairan Pedalaman
1.2.2 Pengaturan Perairan Pedalaman Indonesia
1.2.3 Hubungan Perairan Pedalaman dengan Rezim Hukum Laut Lain
1.2.4 Aplikasi Rezim Perairan Pedalaman di Indonesia
1.3 Tujuan
1.3.1 Menjelaskan
mengenai pengertian perairan pedalaman
1.3.2 Menjelaskan
pengaturan terkait perairan pedalaman Indonesia
1.3.3 Menjabarkan hubungan perairan pedalaman dengan rezim hukum laut
lain
1.3.4 Menjelaskan pengaplikasian rezim perairan pedalaman di Indonesia
1.4 Metode
1.4.1 Pustaka
1.4.2 Internet
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Perairan Pedalaman
Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan
terbesar, memiliki wilayah perairan yang jauh lebih luas dibanding wilayah
daratnya. Wilayah perairan Indonesia yang luas tersebut diperkirakan mengandung
potensi sumber daya yang sangat besar. Perairan juga dapat menjadi penentuan
batas suatu negara, sehingga kewenangan dan kedaulatannya diatur oleh peraturan
internasional, yaitu Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982. Tentu saja
batas-batasnya, baik untuk kewenangan maupun pengelolaannya, dilakukan melalui
penetapan secara bersama-sama. Guna mengelola dan memanfaatkannya secara tepat
dan berkelanjutan serta tidak melanggar batas negara lain, maka diperlukan
pengetahuan tentang jenis, karakteristik dan batas-batas dari perairan yang ada
tersebut. Secara garis besar, wilayah perairan dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni perairan umum atau perairan
darat dan perairan laut. Secara umum,
wilayah perairan dikuasai oleh negara, namun untuk hak penggunaan atau pemanfaatan
sumber dayanya, oleh negara dapat diberikan kepada individu atau kelompok yang
memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan aturan yang berlaku.
Secara sederhana, perairan laut dapat
didefinisikan sebagai bagian bumi yang tertutup air dengan salinitas (kadar
garam) tinggi. Perairan laut meliputi laut, teluk, selat, dan samudera.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut
dan jumlah pulau yang besar. Panjang pantai Indonesia mencapai 95.181 km dan
luas wilayah perairan lautnya sebesar 5,8 juta km2. Potensi tersebut
menempatkan Indonesia sebagai negara yang dikaruniai sumber daya perairan laut
yang besar termasuk kekayaan keanekaragaman hayati dan nonhayati laut terbesar
(KKP, 2010). Berdasarkan
Hukum Laut Internasional atau The United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang telah disepakati
oleh PBB tahun 1982 dan diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No.17/1985, maka
wilayah perairan laut Indonesia terdiri atas 6 jenis rezim yakni Laut Teritorial/Laut Wilayah, Perairan Kepulauan/Nusantara, Perairan Pedalaman, Zona
Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen.
Perairan
pedalaman merupakan wilayah laut kedaulatan Indonesia yang belum ditetapkan.
Menurut Pasal 3 Ayat 4 Undang-Undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia, perairan pedalaman adalah semua perairan yang terletak pada sisi
darat dari garis air rendah di pantai-pantai Indonesia, termasuk semua bagian
dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup. Ada
berbagai jenis garis penutup yang dapat digunakan untuk penarikan batas
perairan pedalaman yang ditetapkan dalam Undang Undang No.6 Tahun 1996.
Sedangkan menurut pasal 8 UNCLOS sendiri, perairan pedalaman adalah segala
perairan yang berada pada sisi darat dari garis pangkal laut teritorial suatu
negara[1].
Dalam
kenyataannya, hingga saat ini pemerintah Indonesia belum menetapkan wilayah
perairan pedalamannya. Salah satu alasan Indonesia belum menetapkan perairan
pedalamannya adalah karena Indonesia merupakan negara kepulauan, yang
mengakibatkan wilayah perairan yang berada di sisi darat garis pangkal lautnya
adalah perairan kepulauan, bukan perairan pedalaman seperti negara
non-kepulauan meskipun sepenuhnya berada di bawah kedaulatan Negara Indonesia.
Selain
itu di perairan pedalaman tersebut terdapat pelabuhan tempat bongkar muat
barang ekspor-impor dari dan ke Indonesia. Dalam konteks pembangunan ekonomi
nasional Indonesia, pelabuhan-pelabuhan yang ada di Indonesia sudah seharusnya
mempunyai standar internasional dan mampu bersaing secara global dengan
pelabuhan- pelabuhan luar negeri. Indonesia wajib memberikan keamanan dan
keselamatan pelayaran internasional sejalan dengan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code yang diadopsi oleh International Maritime Organization
(IMO) tanggal 12 Desember 2002.
Di
samping itu, perairan pedalaman Indonesia sering dijadikan tempat pembuangan
limbah sehingga perairan pedalaman di beberapa tempat di Indonesia sering
tampak kotor dan mungkin terjadi pencemaran lingkungan laut dan perusakan
habitatnya. Apabila pemerintah membiarkan keadaan tersebut di perairan
pedalaman, maka dapat dianggap telah melanggar kewajiban negara untuk
melindungi dan melestarikan lingkungan laut sebagaimana ditegaskan oleh Pasal
192 Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi: “
States have the obligation to protect and preserve the marine environment ”.
Kewajiban Indonesia di perairan pedalaman adalah untuk kepentingan Indonesia, yaitu
berupa kewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan hidup secara keseluruhan,
walapun dalam konteks lingkungan laut sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Laut yang merupakan peraturan
pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Wilayah
laut yang menjadi perairan pedalaman seharusnya didata dan dipublikasikan
dengan didaftarkan ke PBB. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2008),
jika suatu wilayah perairan telah ditetapkan sebagai perairan pedalaman, maka
kapal asing dilarang melintasi wilayah tersebut, sehingga penentuan perairan
pedalaman sangat diperlukan karena berkaitan dengan keamanan nasional.
2.2 Pengaturan Perairan Pedalaman Indonesia
Menurut
Pasal 7 Undang-Undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, disebutkan
beberapa jenis garis penutup yang digunakan sebagai penetapan batas perairan
pedalaman dengan pengertian :
Ayat (1) Di dalam perairan kepulauan, untuk
penetapan batas perairan pedalaman, Pemerintah Indonesia dapat menarik
garis-garis penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan.
Ayat (2) Perairan pedalaman terdiri atas :
a.
laut pedalaman; dan
b.
perairan darat.
Ayat (3) Laut pedalaman sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari
garis penutup, pada sisi laut dari garis air rendah.
Ayat (4) Perairan darat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat
dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala
perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Dalam
konteks garis pangkal kepulauan dilakukan dengan menggunakan garis penutup,
terdiri dari :
a.
Garis
Penutup Teluk
Pada lekukan pantai yang berbentuk teluk, garis pangkal untuk mengukur
lebar laut territorial adalah garis penutup teluk.Garis penutup teluk
yang dimaksud adalah garis lurus yang ditarik antara titik titk teluar
pada garis air rendah yang paling menonjol dan berseberangan pada muara
teluk. Dalam hal ini, garis penutup teluk tersebut adalah seluas atau
lebih luas dari pada luas ½ lingkaran tengahnya adalah garis penutup yang
ditarik pad muara teluk. Apabila pada teluk terdapat pulau-pulau yang membentuk
lebih dari satu muara teluk, maka jumlah panjang garis penutup teluk dari
berbagai mulut teluk maksimum 24 mil laut.
b.
Garis
Penutup Muara, Terusan, dan Kuala
Pada muara sungai atau terusan, garis pangkal untuk mengukur lebar
laut territorial adalah garis penutup muara sungai atau terusan. garis penutup
muara sungai atau terusan dimaksud ditarik antara titik terluar pada garis air
rendah yang menonjol dan berseberangan. Dalam hal garis lurus tidak dapat
diterapkan karena adanya kuala pada muara sungai,sebagai garis penutup kuala
dipergunakan garis-garis lurus yang menghubungkan antara titik-titik kuala
dengan titik-titik terluar pada air garis rendah tepian muara sungai.
c.
Garis
Penutup Pelabuhan
Pada
daerah pelabuhan, garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial adalah
garis-garis lurus sebagai penutup daerah pelabuhan, yang meliputi bangunan
permanen terluar yang merupakan bagian integral sistem pelabuhan sebagai bagian
dari pantai. Garis lurus dimaksud ditarik antara titik -titik terluar
pada garis air rendah pantai dan titik-titik terluar bangunan permanen terluar
yang merupakan bagian integral sistem pelabuhan.
2.3 Hubungan Perairan
Pedalaman dengan Rezim Hukum Laut Lain
A.
Perairan
Kepulauan
Perairan
kepulauan adalah istilah yang diberikan oleh UNCLOS bagi perairan yang berada
dalam garis pangkal kepulauan yang hanya dimiliki oleh negara kepulauan. Dengan
ditutupnya suatu negara kepulauan dengan garis pangkal kepulauan, mengakibatkan
negara kepulauan memiliki wilayah laut yang lebih luas dibandingkan jika negara
menggunakan garis pangkal yang lain. Walaupun suatu wilayah laut telah menjadi
wilayah perairan kepulauan kedaulatan suatu negara, tidak mengakibatkan wilayah
perairan kepulauan negara tersebut bisa bebas dari lalu lintas internasional.
Sebaliknya, kapal asing maupun pesawat udara asing tetap dapat melintas di
wilayah perairan tersebut seperti yang tercantum dalam pasal 52 UNCLOS tentang
Hak Lintas Damai (right of innocent
passage), dan pasal 53 tentang Hak lintas alur laut kepulauan (right of archipelagic sea lanes passage).
Menurut
pasal 53 UNCLOS, suatu negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute
penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat
udara asing yang hendak melintasi perairan kepulauan tersebut. Alur laut dan
rute penerbangan adalah suatu rangkaian garis sumbu yang bersambungan mulai
dari tempat masuk rute lintas (laut teritorial), masuk ke perairan. Pasal 8
UNCLOS juga menyebutkan terjadi pengecualian pada Bab IV UNCLOS yaitu mengenai
negara kepulauan. Bagi negara kepulauan, perairan yang berada pada sisi dalam
dari garis pangkal belum tentu perairan pedalaman, karena negara kepulauan
berhak menarik garis pangkal kepulauan yang mengakibatkan perairan yang berada
didalam garis pangkal bisa menjadi perairan kepulauan. Di perairan kepulauan,
suatu negara kepulauan boleh menarik garis batas antara perairan pedalaman dan
perairan kepulauan, seperti yang disebutkan dalam pasal 50 UNCLOS:
“Within its archipelagic waters, the archipelagic State
may draw closing lines for the delimitation of internal waters, in accordance
with articles 9, 10 and 11”
Garis
yang dapat digunakan sebagai batas antara perairan kepuluan dan perairan
pedalaman adalah garis yang dijelaskan pada pasal 9 UNCLOS (garis penutup
sungai), pasal 10 UNCLOS (garis penutup teluk) dan pasal 11 (garis penutup
instalasi pelabuhan). Perairan Kepulauan (archipelagic waters). Perairan kepulauan
adalah zona maritim yang hanya dimiliki oleh negara kepulauan.
Menurut
pasal 46 UNCLOS, negara kepulauan didefinisikan sebagai “archipelagic State means a State constituted wholly by one or more
archipelagos and may include other islands”. Jadi berdasarkan pasal 46
tersebut, negara kepulauan dapat diartikan sebagai suatu negara yang seluruhnya
terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Selanjutnya berdasarkan pasal 47 UNCLOS, tidak semua negara yang memiliki pulau
dapat mengklaim dirinya sebagai negara kepulauan. Suatu negara dapat mengklaim
negaranya adalah negara kepulauan jika negara tersebut dapat menarik garis
pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang
kering terluar kepulauan itu. Dengan ketentuan bahwa didalam garis pangkal
demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara
daerah perairan dan daerah daratan adalah antara 1:1 hingga 9:1.
B.
Laut
Teritorial
Perairan
pedalaman diartikan sebagai perairan pada sisi darat dari garis pangkal yang
digunakan untuk penarikan laut teritorial suatu negara. Artinya, setelah suatu
negara menutup pantainya dengan garis pangkal, perairan yang berada disisi
dalam dari garis pangkal adalah perairan pedalaman dan yang berada disisi luar
garis pangkal adalah laut teritorial. kepulauan, hingga berakhir ke laut
teritorial tempat keluarnya. Apabila suatu Negara kepulauan tidak menentukan
alur laut atau rute penerbangan, maka menurut pasal 53 ayat (12) UNCLOS, negara
lain yang hendak melintasi perairan kepulauan tersebut boleh melewati rute mana
saja yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional.
Status
hukum laut teritorial dijelaskan dalam pasal 2 UNCLOS, termasuk didalamnya
status hukum ruang udara diatasnya, serta dasar laut dan lapisan tanah di
bawahnya. Dalam pasal 2 disebutkan:
1. The
sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and internal
waters and, in the case of an archipelagic State, its archipelagic waters, to
an adjacent belt of sea, described as the territorial sea.
2. This
sovereignty extends to the air space over the territorial sea as well as to its
bed and subsoil.
3. The
sovereignty over the territorial sea is exercised subject to this Convention
and to other rules of international law.
Berdasarkan
ayat ke (1) pasal ke 2 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa wilayah
kedaulatan suatu negara selain kedaulatan terhadap wilayah daratannya, perairan
pedalamannya, perairan kepulauannya (khusus untuk negara kepulauan), juga
termasuk kedaulatan atas laut teritorialnya. Batas laut teritorial dijelaskan
dalam pasal 3 dan 4 UNCLOS, yaitu maksimal penarikannya adalah 12 mil diukur
dari garis pangkal yang digunakan negara pantai. Khusus untuk negara kepulauan,
pada pasal 48 UNCLOS menyebutkan bahwa laut teritorial diukur dari garis
pangkal kepulauan.
C.
Perbedaan
Kewenangan Negara
Seperti
yang telah dijelaskan, negara memiliki kedaulatan penuh pada tiga wilayah
maritim yaitu laut teritorial, perairan pedalaman, dan perairan kepulauan.
Kedaulatan yang berlaku di atas tiga wilayah maritim tersbut adalah kedaulatan
penuh baik di dasar laut, bagian perairan, maupun ruang udara di atasnya
seperti yang tercantum pada Undang Undang No 6 tahun 1996. Hal ini berarti
negara kepulauan seperti Indonesia
tidak hanya berhak
mengatur lalu lintas
pelayaran di laut, tapi juga
berhak mengatur alur penerbangan pesawat asing di atas tiga wilayah maritim
tersebut.
Tiga
wilayah maritim yang berbeda, yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan
laut teritorial memiliki peraturan yang berbeda pula. Dilihat dari letaknya
dari garis pangkal, Laut Territorial adalah wilayah diluar garis pangkal hingga
jarak maksimum 12 mil laut, perairan pedalaman berada di sisi dalam garis
pangkal lurus hingga daratan, sedangkan perairan kepulauan berada di sisi dalam
garis pangkal kepulauan sekaligus sebagai bagian air yang menghubungkan pulau-
pulau. Di dalam perairan kepulauan, negara kepulauan diijinkan membuat garis
penutup sebagai batas antara perairan kepulauan dan perairan pedalaman.
Hak
lintas damai berlaku di laut teritorial dan perairan kepulauan, namun tidak
berlaku di perairan pedalaman kecuali negara pantai memberikan ijin. Kapal
asing tidak diijinkan melintas di perairan pedalaman, seperti yang tercantum
dalam pasal 18 ayat (1) berikut :
1. Passage
means navigation through the territorial sea for the purpose of:
a. traversing
that sea without entering internal waters or calling at a roadstead or port
facility outside internal waters; or
b. proceeding
to or from internal waters or a call at such roadstead or port facility
Dalam pasal 18 ayat (1)
tersebut terulis bahwa kapal diijinkan melintasi laut teritorial tanpa memasuki
perairan pedalaman. Ketentuan serupa juga berlaku di perairan kepulauan bagi
negara kepulauan. Dalam lintas damai, seperti yang diterangkan pada pasal
18 ayat (1), kapal diijinkan masuk atau keluar dari perairan pedalaman. Namun,
hak untuk masuk ke perairan pedalaman hanya berlaku bagi kapal asing yang telah
mendapat ijin dari negara pantai. Negara diijinkan memberikan syarat khusus
bagi kapal asing yang akan masuk ke perairan pedalaman maupun tempat berlabuh
di tengah laut (roadsstead). Hal ini
merupakan ketentuan yang tertulis di pasal 25 ayat (2) berikut :
“In the case of ships proceeding to internal waters or a
call at a port facility outside internal waters, the coastal State also has the
right to take the necessary steps to prevent any breach of the conditions to
which admission of those ships to internal waters or such a call is subject”
Apabila ada kapal asing
yang melakukan kejahatan sebelum masuk ke laut teritorial suatu negara, negara
tersebut tidak meiliki hak untuk melakukan tindakan apapun terhadap kapal asing
yang demikian, kecuali kapal asing tersebut masuk ke perairan pedalaman.
Seperti yang tertulis dalam pasal 27 ayat (5) berikut :
“Except
as provided in Part XII or with respect to violations of laws and regulations
adopted in accordance with Part V, the coastal State may not take any steps on
board a foreign ship passing through the territorial sea to arrest any person
or to conduct any investigation in connection with any crime committed before
the ship entered the territorial sea, if the ship, proceeding from a foreign
port, is only passing through the territorial sea without entering internal waters”
Pengecualian bagi ketentuan
di atas adalah yang tercantum dalam Bab XII tentang Perlindungan dan
Pelestarian Lingkungan Laut (Protection
and Preservation of the Marine Environtment) dan Bab V tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
Perairan pedalaman adalah
wilayah yang khusus karena dianggap setara dengan daratan. Dari berbagai peraturan
yang tercantum dalam UNCLOS tersebut, dapat disimpulkan bahwa kapal asing tidak
boleh masuk ke perairan pedalaman kecuali mendapat ijin khusus dari negara
pantai. Namun bagi daerah yang sebelumnya bukan merupakan perairan pedalaman
namun setelah ditutup garis pangkal lurus berubah menjadi perairan pedalaman,
maka di dalam perairan tersebut berlaku hak lintas damai sebagaimana tertulis
dalam pasal 8 ayat (2) berikut :
Where
the establishment of a straight baseline in accordance with the method set forth
in article 7 has the effect of enclosing as internal waters areas which had not
previously been considered as such, a right of innocent passage as provided in
this Convention shall exist in those waters.
2.4 Aplikasi Rezim Perairan Pedalaman di Indonesia
A. Teluk
Konvensi
Hukum Laut 1982 telah menentukan persyaratan untuk dapat dikatakan teluk, yaitu
yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (2) :
“a bay is a well-marked indentation
whose penetration is in such proportion to the width of its mouth as to contain
land-locked waters and constitute more than a mere curvature of the coast.
An indentation shall
not, however, be regarded as a bay unless its area is as
large as, or larger than, that of the semi-circle whose diameter is a line
drawn across the mouth of that indentation”
Ayat
ini menentukan bahwa teluk (bay)
adalah suatu lekukan yang jelas (well-markes
indentation) membentuk perairan pedalaman yang luasnya sama atau lebih luas
dari setengah lingkaran yang garis tengahnya melintasi mulut lekukan tersebut. Apabila
jarak antara titik-titik garis air rendah pada pintu masuk alamiah (natural entrance points) tidak melebihi
24 mil, maka garis penutup (closing line)
dapat ditarik antara kedua garis air rendah tersebut sehingga menjadi perairan
pedalaman, tetapi apabila melebihi 24 mil, maka dapat ditarik garis pangkal
lurus.
Ketentuan
Pasal 10 Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut tidak berlaku bagi teluk sejarah (historic bay) karena dapat menyangkut
kepentingan ekonomi, politik, atau keamanan suatu negara pantai. Dengan kata lain teluk adalah suatu lekukan yang jelas,
yang lekukannya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga
mengandung perairan yang tertutup dan yang bentuknya lebih dari pada sekedar suatu lingkungan pantai semata-mata. Tetapi suatu lekukan
tidak akan dianggap
sebagai suatu teluk kecuali apabila luas teluk adalah seluas atau lebih
luas dari pada luas setengah lingkaran yang diameter lingkarannya adalah
sepanjang garis yang ditarik melintasi mulut lekukan tersebut.
Dari pengertian teluk dalam UNCLOS dapat
disimpulkan bahwa untuk menentukan suatu lekukan pantai disebut teluk atau
bukan, dapat dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:
1.
Tahap pertama adalah menentukan mulut
teluk kemudian membuat garis yang menutup teluk (garis penutup teluk)
2.
Tahap kedua mengukur panjang garis yang menutup teluk, kemudian
membuat lingkaran dengan panjang garis penutup teluk tersebut sebagai diameternya
3.
Tahap
ketiga membagi dua lingkaran yang diameternya
sepanjang garis penutup teluk, kemudian mengukur luas setengah lingkaran
tersebut
4.
Tahap keempat mengukur luas perairan
yang berada di dalam garis penutup teluk. Tahap terakhir adalah membandingkan
antara luas perairan di dalam garis penutup teluk dan luas setengah lingkaran.
5.
Tahap kelima, hasil yang didapat apabila
luas perairan di dalam garis penutup teluk lebih luas atau sama luas dari atau
dengan luas setengah lingkaran, perairan tersebut dapat disebut sebagai teluk.
Pengertian teluk menurut UNCLOS hanya
digunakan sebagai acuan untuk menentukan batas maritim suatu negara. Pada
kenyataannya, ada beberapa teluk di Indonesia yang tidak memenuhi syarat UNCLOS
namun masuk dalam toponimi teluk (Rachma, 2013).
Perairan
pedalaman di dalam teluk. Perairan pedalaman (internal waters) dijelaskan pada pasal 8 UNCLOS, dan teluk beserta
garis penutup teluk dijelaskan secara lengkap pada pasal 10 UNCLOS. Dua
pengertian menurut UNCLOS ini telah diadaptasi oleh Pemerintah Indonesia
kedalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Hal ini dilakukan karena
Indonesia telah meratifikasi UNCLOS dalam undang-undang No. 17 Tahun 1985. Salah satu undang-undang yang
membahas mengenai perairan pedalaman di dalam garis penutup teluk yaitu UU No.
6 Tahun 1996 mengenai Perairan Indonesia. Disebutkan dalam pasal 7 UU No. 6
Tahun 1996 :
1. Di
dalam perairan kepulauan, untuk penetapan batas perairan pedalaman, Pemerintah Indonesia
dapat menarik garis
-garis penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan.
2. Perairan
pedalaman terdiri atas :
a. laut
pedalaman; dan
b. perairan darat.
3. Laut
pedalaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a adalah bagian laut yang
terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dari garis air
rendah.
4. Perairan
darat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah segala perairan yang
terletak pada sisi darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai
perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis
penutup mulut sungai.
Syarat
garis penutup teluk dijelaskan dalam pasal 10
ayat 4 UNCLOS yang berbunyi :
“If
the distance between the low-water marks of the natural entrance points of a bay does not exceed 24 nautical miles,
a closing line may
be drawn between these two low-water marks, and the waters enclosed thereby
shall be considered as internal waters.”
Dapat disimpulkan bahwa suatu garis penutup teluk tidak boleh mempunyai panjang
melebihi 24 mil laut, serta perairan yang berada di dalam garis penutup teluk
dapat langsung didefinisikan sebagai perairan pedalaman setelah ditutupnya
teluk dengan garis penutup teluk. Apabila panjang
garis penutup teluk
lebih dari 24 mil laut,
maka dipilih lekukan pantai di dalam teluk yang
panjangnya kurang dari atau sama dengan 24 mil laut. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan UNCLOS dalam pasal 10 ayat
(5) yang berbunyi :
“Where
the distance between the low-water marks of the natural entrance points of a
bay exceeds 24 nautical miles, a straight baseline of 24 nautical miles shall
be drawn within the bay in such a manner as to enclose the maximum area of
water that is possible with a line of that length”
Garis
penutup teluk dipilih pada lekukan pantai di
dalam teluk sedemikian rupa sehingga mendapat luas maksimum yang bisa diambil
oleh suatu negara. Pemilihan luas maksimum dimaksudkan agar negara mendapat
keuntungan seluas-luasnya. Apabila
ada pulau yang terletak di sisi dalam dari garis penutup teluk, pulau- pulau
tersebut menjadi bagian dari perairan. Selain itu, jika dalam penarikan garis penutup teluk
terhalang oleh pulau-pulau kecil, maka panjang
teluk yang diukur
adalah penjumlahan dari garis yang menghubungkan mulut teluk dan
pulau-pulau. Diameter yang digunakan untuk membuat setengah lingkaran yang
menjadi syarat adalah penjumlahan dari garis yang menghubungkan pulau-pulau.
UNCLOS
sendiri mengatur mengenai peran pulau yang terletak di dalam teluk, yaitu pada
pasal 10 ayat (3) yang berbunyi :
“… Where, because of the presence
of islands, an indentation has more than one mouth, the semi-circle shall be
drawn on a line as long as the sum total of the lengths of the lines across the
different mouths. Islands within an indentation shall be included as if they
were part of the water area of the indentation.”
Jadi
maksud dari pasal 10 ayat (3) tersebut adalah apabila karena adanya pulau-
pulau, lekukan mempunyai lebih dari satu mulut,
maka setengah lingkaran dibuat pada suatu
garis yang panjangnya sama dengan jumlah keseluruhan panjang garis yang
melintasi berbagai mulut tersebut. Pulau-pulau yang terletak di dalam lekukan
harus dianggap seolah-olah sebagai bagian daerah perairan lekukan tersebut.
B.
Teluk Sejarah
Teluk sejarah
(historic bay) menurut peraturan pasal
10 UNCLOS ayat (2),
(4), dan (5) dapat diambil kesimpulan bahwa teluk sesuai UNCLOS memiliki dua
syarat, yaitu:
a.
Panjang garis penutup teluk maksimal 24
mil laut
b.
Luas teluk lebih dari atau sama dengan
luas setengah lingkaran dengan diameter sepanjang garis penutup teluk
Apabila
salah satu syarat tidak ditemukan pada suatu lekukan pantai yang menyerupai
teluk, maka dibuat garis lain sedemikian rupa sehingga kedua syarat terpenuhi.
Jika kedua syarat tetap tidak terpenuhi, maka suatu lekukan pantai tidak dapat
dianggap teluk meskipun bentuknya menyerupai teluk. Meskipun demikian, pasal 10 ayat (6) UNCLOS
memberikan pengecualian atas kedua syarat
tersebut. Pasal 10 ayat (6) memberikan toleransi bagi teluk Sejarah (Historic Bays), dimana bunyinya:
“The foregoing provisions do not
apply to socalled "historic" bays, or in any case where the system of
straight baselines provided for in article 7 is applied”
Sedangkan
IHO memberikan pengertian tentang Historic bays dalam Special Publication No. 32 sebagai berikut:
Historic
bays are those over which the coastal state has publicly claimed and exercised
jurisdiction and this jurisdiction has been accepted by other states. Historic
bays need not match the definition of "bay" contained in the United
Nations Convention on the Law of the Sea.
Menurut International
Hydrographic Organization (IHO), teluk sejarah adalah teluk
yang telah diklaim dan dipublikasikan oleh suatu negara pantai dan negara
pantai tersebut melaksanakan yurisdiksinya, dan yurisdiksi negara pantai atas teluk
diterima oleh negara lain.
Syarat teluk menurut UNCLOS belum tentu ada pada teluk Sejarah.
Teluk Sejarah lebih kepada penamaan atas teluk yang memiliki nilai historis,
berhubungan dengan sejarah masyarakat di sekitar, dan berbagai pertimbangan
yang lain.
C.
Tanjung
Penentuan
titik yang digunakan sebagai mulut teluk atau pintu masuk alamiah adalah
sesuatu yang penting dalam pendefinisian perairan pedalaman, karena digunakan
sebagai titik awal pengukuran panjang garis penutup dan luas teluk. Suatu
negara bebas menentukan titik masuk alamiah dari teluknya. Garis biasanya akan
digambarkan sejauh mungkin menuju ke laut.
Pemilihan
garis agar mendapat panjang maksimal dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan
sebanyak-banyaknya bagi negara. Mulut teluk yang dipilih adalah tanjung yang
terletak di salah satu sisi teluk menuju tanjung di sisi yang lain. Namun, ada beberapa permasalahan
saat memilih ujung tanjung. Ujung tanjung
dengan mudah ditentukan apabila ujung dari tanjung memiliki garis pantai yang cenderung lancip. Sedangkan di lapangan, bentuk
dari ujung tanjung adalah tumpul. Kesulitan
menentukan ujung bertambah karena sisi kanan dan sisi kiri (garis pantai) dari
tanjung tidak satu garis.
[1]
Where the
establishment of a straight baseline in accordance with the method set forth in
article 7 has the effect of enclosing as internal waters areas which had not
previously been considered as such, a right of innocent passage as provided in
this Convention shall exist in those waters (Art.
8, UNCLOS 1982)
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Konferensi
PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut yang dikenal dengan United Nations Converention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)
menghasilkan berbagai ketentuan hukum di laut milik suatu negara. Menurut
UNCLOS, Indonesia sebagai Negara Kepulauan berhak mengklaim beberapa wilayah
laut. Wilayah laut yang dimiliki Indonesia ialah: perairan kepulauan, perairan
pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas
kontinen. Ketentuan tentang wilayah-wilayah laut meliputi jarak dari daratan,
lebar ke laut lepas, penetapan batas dengan negara lain, dan ketentuan lain
yang telah dicantumkan dalam UNCLOS. UNCLOS telah diratifikasi oleh Pemerintah
Republik Indonesia ke dalam Undang-Undang No.17 Tahun 1985.
Salah
satu wilayah laut yang dimiliki Indonesia sebagai negara kepulauan yaitu
perairan pedalaman. Perairan pedalaman merupakan wilayah laut kedaulatan Indonesia
yang belum ditetapkan. Menurut pasal 3 Undang Undang No.6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia, perairan pedalaman adalah semua perairan yang terletak pada
sisi darat dari garis air rendah di pantai-pantai Indonesia, termasuk semua
bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.
Perairan pedalaman dapat terdiri dari teluk dan teluk sejarah serta tanjung.
3.2 Saran
1. Bagi
pemerintah, wilayah laut yang menjadi perairan pedalaman seharusnya didata dan
dipublikasikan dengan didaftarkan ke PBB. Menurut Departemen Kelautan dan
Perikanan (2008), jika suatu wilayah
perairan telah ditetapkan sebagai perairan pedalaman, maka kapal asing dilarang
melintasi wilayah tersebut, sehingga penentuan perairan pedalaman sangat
diperlukan karena berkaitan dengan keamanan nasional.
2. Bagi
masyarakat, wilayah laut perairan pedalaman dikarenakan belum diatur oleh
pemerintah nasional, diperlukan penjagaan ekstra dari masyarakat terutama
karena perairan pedalaman sering menjadi tempat bagi pembuangan limbah beracun
dan berbahaya ilegal.
DAFTAR ISI
A. Buku
Danusaputro, St. Munadjat. (1980). Tata Lautan Nusantara dalam Hukum dan Sejarahnya. Bandung: Penerbit Binacipta
Kerja Sama dengan Badan Pembinaan
Hukum Nasional.
Darsono, V. (1995). Pengantar Ilmu Lingkungan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Universitas
Atma Jaya Yogyakarta.
Djalal, H. (1979). Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum. Bandung: Penerbit Binacipta
Kerja Sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Djalal, H. (2001). Wilayah Perairan, Kedaulatan Nasional, dan Potensi sumber daya Kelautan dalam Pengembangan
sumber daya Kelautan. Editor John
Pieris. Jakarta: Penerbit Pusaka Sinar Harapan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
(2010). Rencana Strategi Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010-2014.
Jakarta: Kementerian Kelautan dan
Perikanan
Kusumaatmadja, M. (1986). Hukum Laut Internasional. Bandung: Penerbit Binacipta Kerja Sama
dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional
B. Undang-Undang
Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia
Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang
Hukum Laut)
Komentar
Posting Komentar