ANGKET DPR TERHADAP KPK: SEBUAH KOMPLEKSITAS DINAMIKA KETATANEGARAAN
ANGKET DPR TERHADAP KPK:
SEBUAH
KOMPLEKSITAS DINAMIKA KETATANEGARAAN*
Maria Vicienza da Rosa Wego, Robinson P. Nguju Nau, Bunaiyah Dean
Universitas Nusa Cendana, Jl. Adi Sucipto Penfui
E-Mail: Sensawego@gmail.com
Maria Vicienza da Rosa Wego, Robinson P. Nguju Nau, Bunaiyah Dean
Universitas Nusa Cendana, Jl. Adi Sucipto Penfui
E-Mail: Sensawego@gmail.com
A. PENDAHULUAN
Sebagai
suatu bangsa beradab, Indonesia tentu memiliki pemahaman mengenai tujuan negara
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan model
pemerintahan yang harus dibentuk demi memenuhi pola tuntutan perkembangan zaman
dan tantangan dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini termasuk
bagaimana komitmen negara dalam menerapkan nilai luhur peradaban bangsa dan
prinsip good governance dalam
perjuangan mewujudkan cita-cita dasar dan tujuan berbangsa dan bernegara
sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Prinsip dasar yang melandasi
perbedaan antara konsepsi pemerintahan (governance)
dengan model pemerintahan tradisional adalah adanya tuntutan yang sedemikian
kuat agar peran pemerintahan dikurangi dan peranan masyarakat dalam dunia
pemerintahan semakin ditingkatkan dan terbuka aksesnya. Perlunya pendekatan
baru dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan yang terarah demi terwujudnya
pemerintahan yang baik atau good
governance.
Gambir
Bhatta (1996) menyatakan bahwa unsur utama governance
terdiri dari akuntabilitas (accountability),
transparansi (transparency),
keterbukaan (opennes), dan aturan
hukum (the rule of law) ditambah
dengan kompetensi manajemen (management
competence) dan Hak Asasi Manusia (human
right)[1].
Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah perlu memainkan peranan sentral
dalam membentuk suatu bingkai atau framework
legal institusional dan regulasi yang baik dimana dalam sistem ini konsep good governance dapat dikembangkan.
Sehingga tanpa sebuah framework yang
tepat, prinsip pemerintahan dimaksud tidak akan berdampak.Terwujudnya penerapan
good governance dalam organisasi
pemerintahan merupakan tuntutan bagi terselenggaranya menajemen pemerintahan
dan pembangunan yang berdaya guna, berasil guna, dan bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN). Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan sistem yang
akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan aturan hukum yang baik dan sesuai
dengan harapan atau tuntutan kebutuhan pada seluruh jajaran aparatur negara.
Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah lembaga independen yang berasal
dari masyarakat guna mengontrol pemeritahan. Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK)
dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 atas beberapa pertimbangan
yang matang baik oleh Presiden maupun pembentuk Undang-Undang dengan dasar
pemberantasan tindak pidana korupsi yang merajalela masa itu dan penangan yang
kurang optimal dari Kepolisian dan Kejaksaan sehingga menyebabkan terganggunya
kestabilan sistem pemerintahan dalam segala lini yang pada akhirnya berujung
pada penumpukkan kerugian negara sebagai akibat langsung korupsi. Pelanggaran
Hak asasi dari sisi ekonomi, sosial, dan budaya ini membuat pembuat
Undang-Undang menempuh jalur hukum dengan mengawinkan hukum pidana dan acara
pidana dalam sebuah organ khusus guna menangkal efek domino korupsi yang timbul
seperti jamur di musim hujan, yang karenanya negara dianggap gagal mencapai
tujuannya untuk mencapai kesejahteraan umum seperti yang termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945, termasuk mencoreng citra atau image Indonesia dalam pergaulan masyarakat
Internasional.
Kewenangan
yang diberikan oleh pembentuk Undang-Undang pada masa itu mengisyaratkan
profesionalisme KPK dalam menjalankan tugasnya dalam bingkai indenpendensi guna
menyusun, merencanakan, dan mencegah segala kebijakan dan praktek yang memiliki
pertautan dengan korupsi. Lima ruang lingkup KPK yang sifatnya koordinasi,
supervisi, penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan tindakan prevensi dan
monitoring tampak amat luas inilah yang menyebabkan KPK disebut sebagai The Superbody Organ yang dalam
melaksanakan tugasnya tak jarang mencakup pula wilayah kewenangan yang juga
dimiliki oleh beberapa lembaga negara dan kerap kali membuat para petinggi
pemerintahan yang diselidiki berdebar-debar. Hal inilah yang kemudian menjadi
hal yang merisaukan banyak pihak, disamping sifat independensi lembaga yang
menyebabkan KPK bebas dari pengaruh kekuasaan apapun. Ketika KPK diintervensi,
publik bergejolak. Kejaman pro dan kontra datang dari berbagai lini Munculnya Hak
Angket terhadap KPK dinilai sebagai suatu langkah mundur bagi proses
pengentasan Korupsi di Indonesia, terutama lagi bila pengguliran angket ini
diadakan oleh pembentuk Undang-Undang yang pada awalnya dengan gigih memberikan
kewenangan penuh bagi KPK untuk melaksanakan fungsinya. Tetapi, bagi sebagian
pihak lainnya ini merupakan hal yang wajar dimana setiap lembaga negara wajib
hukumnya dievaluasi dan dikritik sebagai bagian dari proses ketatanegaraan yang
demokratis. Namun, berbagai opini publik terus mengalir, banyak pertanyaan
terlontar mengenai apakah Hak Angket KPK adalah sebuah keniscayaan yang
dilegalkan? Atau justru sebaliknya? Yang kini dipandang sebagai kompleksitas
dinamika ketatanegaraan Republik Indonesia.
B. PEMBAHASAN
Pro: KPK, Menuju Lembaga
Anti Rasuah yang Demokratis
KPK
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dalam
pertimbangan huruf a bahwa pemberantasan korupsi perlu digolongkan sebagai
kejahatan yang pemberantasannya harus dengan cara luar biasa dan karena
sifatnya yang meluas, meliputi seluruh sistem sosial dan pemerintahan,
menghambat pertumbuhan sosial dan ekonomi rakyat, serta memperburuk citra
Indonesia dimata dunia, maka DPR menyadari bahwa perlunya sebuah lembaga anti
rasuah di Indonesia sebagai trigger
mechanism pengentasan kasus korupsi di Indonesia. Suara DPR dianggap
sebagai vox populi yang mewakili
rakyat sehingga lewat pertimbangan yang matang KPK lahir sebagai pelaksana Undang-Undang.
Namun, sebagai pembuat Undan-Undang, DPR sebagai representation by election merasa bahwa sudah sepatutnya KPK
diawasi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Norma Pasal 79 ayat (3) yang
merujuk pada ayat (1) huruf b menyatakan bahwa hak angket juga meliputi KPK karena
fungsinya sebagai pelaksana Undang-Undang, meskipun bentuknya lembaga
independen. Diperkuat bahwa korupsi sebagai alasan lahirnya KPK merupakan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan berbangsa dan bernegara
yang dianggap bertententangan dengan peraturan perundang-undangan sesuai temuan
hasil pengawasan Komisi II DPR, oleh karena itu Penjelasan Pasal 79 ayat (3)
tidak dapat ditafsirkan secara limitatif untuk mendegradasi jenis lembaga yang
dapat diangket DPR.
Karena
penafsiran yang sifatnya limitatif ini dapat menyebabkan terbentuknya norma
baru sehinga fungsi penjelasan sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan
Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh menjadi kabur. Fungsi
penjelas norma mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud
oleh pembentuk undang-undang, dalam hal ini hak angket DPR terhadap KPK sehingga,
tafsir Pasal a quo bersifat terbuka
terhadap semua lembaga atau institusi pelaksana undang-undang karena
seyogyanya, rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai
berikut[2]:
- Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
- Tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh;
- Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
- Tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau,
- Tidak memuat rumusan pendelegasian
Sistem pemerintahan Indonesia yang
presidensil tidak murni mengisyaratkan lompatan perkembangan dalam lintasan
ketatanegaraan Indonesia. Sebagai bahan perbandingan, bahwa tidak ada negara
yang murni menerapkan konsep presidensil dan parlementer karena dinamika
kehidupan masyarakat yang berubah seiring waktu sehingga hak angket dianggap
wajar diberlakukan di Indonesia terlepas dari asumsi sejarah. Hak angket bukan
merupakan istilah baru menurut UU No 7 Tahun 1954 tentang Angket meskipun saat
itu sistem yang berlaku adalah parlementer, namun berdasarkan tinjauan historis
alasan melekatnya hak angket pada DPR adalah sebagai bagian mosi tidak percaya
guna supervisi lebih lanjut terhadap obyek angket tersebut, didukung dengan UUD
NRI Tahun 1945 pada Pasal 20A ayat (2) sebagai dasar tertinggi norma
Perundang-undangan di Indonesia. Pertanyaan apakah KPK sebagai obyek angket
adalah rasional, maka perlu dikaji dari beberapa aspek, yakni :
- KPK dibentuk oleh undang-undang, sehingga dalam penafsiran Pasal 73 UU MD 3, KPK dipandang sebagai pekasana UU yang melaksanakan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 jo UU No 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
- KPK dapat dikategorikan sebagai lembaga eksekutif meskipun independen karena tugasnya yang menyeberang ke arah eksekutif;
- Pembiayaan KPK berasal dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN), bukan swadaya mandiri;
- Perbandingan antara independensi KPK sejalan dengan fakta hukum terkait Pansus Angket Century yang menarik Bank Indonesia (BI) meskipun independensinya diatur dalam Pasal 23 UUD 1945. Hal ini berarti, secara logika basic case KPK dapat pula diangket.
Selain tafsir norma a quo, perlu diperhatikan posisi Indonesia sebagai negara
demokrasi. Menurut A.D Belinfante, Indonesia memenuhi syarat negara demokrasi
jikalau pengorganisasian lembaga negaranya memenuhi beberapa aturan dasar atau grondregels. Salah satunya adalah
pertanggungjawaban, dimana tidak seorangpun dapat melaksanakan kewenangan tanpa
dapat mempertanggungjawabkannya. Hal ini mengisyaratkan suatu arah pemerintahan
yang mengedepankan proses evaluasi, monitoring, dan kontrol dalam pelaksanaan
suatu prinsip good governance. Hal
demikian merupakan asas yang penting dalam suatu bingkai negara demokrasi
sehingga konsep pembaharuan selalu terjadi dalam tubuh suatu institusi atau
lembaga. Sehingga, kekuasaan yang berasal dari rakyat melalui negara yang
terejawantahkan dalam suatu susunan undang-undang dapat mengarah pada jiwa
akuntabilitas. Karena kekuasaan ditandai tidak hanya oleh kewenangan hukum
semata ketika menjalankan fungsi pemerintahan, melainkan juga kewajiban hukum
publik untuk mempertanggung jawabkannya dalam suatu bingkai check and balance.
Sesungguhnya, karakteristik independen
KPK bukan mengisyaratkan tak tersentuhnya KPK sebagai sebuah lembaga, melainkan
memberi makna bahwa KPK dalam pengambilan keputusannyaa tidak tunduk pada
pengarahan, tekanan, ancaman, dan pengaruh dari pihak manapun. Sehingga
independensi harus bersamaan dengan akuntabilitas guna mencapai marwah dari
setiap lembaga yang ada, terlepas dari konsep pembagian kekuasaan yang tetap
harus saling terhubung[3].
Kebebasan seperti yang dikemukakan Edmund Burke dalam Pidatonya di tahun 1775 “abstract liberty, like other mere
abstractions is not tobe fame. Liberty inheres in some sensible object” namun,
masuk akal tidaknya sebuah obyek kebebasan telah digambarkan dalam UU MD 3,
sehingga argumen bahwa ketidaklogisan dari hak angket terhadap KPK sifatnya
tidak berlalil hukum jelas. Sehingga, harapan DPR sebagai pembentuk
undang-undang terhadap KPK sebagai lembaga anti rasuah yang demokratis sehingga
prinsip cheks and balences dan
prinsip kesetaraan kedudukan antar lembaga negara dapat tercapai.
Kontra:
Angket DPR Terhadap KPK, Sebuah Keniscayaan yang Dilegalkan
Merujuk
pada konsep Trias Politica yang digagas oleh Montesquie yang membagi kekuasaan
pemerintahan menjadi lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif dirasa sudah
begitu lapuk dalam menjawab tuntutan dunia dewasa. Hal ini dibuktikan dengan
munculnya banyak lembaga negara diluar tiga cabang kekuasaan tersebut yang
kemudian disebutkan Jimly Asshiddiqie sebagai independent supervisory bodys yang menjalakan fungsi campuran
regulatif, administratif, dan penghukuman. Sebuah pendapat ketatanegaraan yang
kemudian muncul dan terpolakan sejak lama adalah bagaimana cara menempatkan
lembaga negara independen ini dalam tiga kotak yang seyogyanya secara funsional
dan struktural jauh berbeda. Kompleksitas yang dipaksakan ini membuat Bruce
Ackerman memberikan defenisi mengenai A
new separation power yang mungkin saja mengandung lima atau enam jenis
kotak kekuasaan (Comparative
Administratiive Law, 2010: 129). Sehingga sebuah irasionalitas jika KPK
dipaksa mengikuti form dari lembaga
Eksekutif hanya karena tugasnya sebagai pelaksana Undang-Undang, kewenangannya
yang mencakup urusan luas, dan menggunakan pembiayaan APBN karena sebagai auxiliary organ state agency, KPK
memiliki kewenangan penuh sebagai lembaga yang menjaga marwah anti korupsi
seperti yang telah dititipkan kepadanya.
Indenpedensi
yang dimaksud William F. Fox dalam Understanding
Administrative Law ialah jika suatu komisi negara diyatakan secara tegas
oleh Parlemen dalam Undang-Undang Komisi tersebut (2000: 56) sehingga ketika
merujuk pada UU No. 30 Tahun 2003 tentang KPK maka secara eksplisit dinyatakan
dalam Pasal 3 yang berbunyi “Komisi
Pemberantasa Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun”. Selain
itu, sebagai the sole intepreter of
constitution, tafsir Mahkahmah Konstitusi terhadap independensi KPK dalam
Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 yang memberikan pengakuan bahwa KPK
merupakan komisi lembaga independen diluar tiga cabang kekuasaan yang lazim
hadir di suatu negara sebagai kuasi lembaga negara yang diberi kewenangan
melaksanakan fungsi-fungsi kekuasaan negara. Dalam menjalani fungsi negara
tersebut, KPK dianggap sebagai lembaga yang penting dalam tugas memberantas
korupsi, namun bukan sebagai pengganti lembaga penanganan korupsi sebelumnya
seperti kepolisian dan kejaksaan, melainkan sebagai trigger mechanism yang mendorong percepatan pemberantasan korupsi
menjadi lebih efektif dan efisien.
Asumsi
yang mengotakkan KPK dalam cabang kekuasaan Eksekutif karena tugasnya sama
dengan Kejaksaan dan Kepolisian merupakan suatu tindakan irasional sebagaimana
dikatakan oleh Asimow “Units of goverment
created bt statute to carry out the specific task in implementing the statue.
Most administrative agencies are fall in the excutive branch, but some
important agencies are independent.”[4]
Yang kemudian sejalan dengan pendapat Jimly Asshiddiqie bahwa komisi independen
tidak termasuk ketiga cabang kekuasaan namun membawa sifat dan kewenangan
campur sari dari ketiganya antara fungsi regulatif, administratif, dan
penghukuman yang biasanya dipisahkan namun dilakukan secara bersamaan oleh
komisi independen[5],
termasuk KPK. Sebagai bahan komparatif, banyak negara termasuk Belanda juga
memiliki komisi independennya sendiri yang disebut Koortman dan Bovend’Een
dalam Hukum Tata Negara Belanda dalam penjelasannya “there are many institution wich operate more or less independently
from the minister” sehingga independensi dari suatu komisi yang sifatnya
menanggulangi “kebocoran” dari tiga cabang tersebut wajar adanya.
Berkaitan
dengan obyek angket DPR terhadap KPK ditinjau dari norma materiil yaitu pada
Pasal 79 ayat 3 terhadap frasa “... melakukan penyelidikan terhadap suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah” mengandung penafiran logika alternatif-kumulatif dalam
peraturan perundang-undangan yang dimaknai bahwa seluruh pelaksana
undang-undang dapat diselidiki oleh DPR. Logika ini berlaku pada persamaan
sebagaimana dapat dilakukan pemeriksaan kepada lembaga peradilan sebagai
pelaksana undang-undang yang dalam UUD NRI 1945 memberikan ultimatum bahwa
lembaga peradilan merupakan kekuasaan yang merdeka dalam tugasnya menegakkan
hukum berdasarkan Pasal 24 Ayat 1. Hal yang tidak dapat diterima berdasarkan
norma a quo yang diselewengkan oleh
DPR terlihat jelas dalam susunan kalimat Penjelasan Pasal 79 Ayat 3 UU MD3 yang
dimaknai sebagai kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh presiden, wakil
presiden, mentri negara, panglima TNI, kapolri, jaksa agung, atau pimpinan
lembaga pemerintahan non-kementrian.
Dalam
susunan lembaga pemerintahan nonkementrian dalam Peraturan Presiden No. 3 Tahun
2013 terdapat 14 obyek dimana nama KPK tidak tercantum didalamnya. Sehingga
berdasakan tafsir norma a quo yang
tidak memuat salah satu unsurpun mengenai KPK yang dapat dijadikan tolak ukur
bagi DPR dalam menggunakan hak angketnya, DPR dianggap telah melakukan
perluasan norma dari limitatif menjadi tidak terbatas. Menjadi fatal karena
secara eksplisit, DPR tidak memberikan batasan terhadap kewenangannya terhadap right to investigate yang dikhawatirkan
bertujuan memakzulkan KPK karena alasan-alasan politis.
Sejarah
juga mencatat dalam risalah perumusan atau original
intent dalam Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dimana secara historis, saat sidang berlangsung
hak angket DPR yang disampaikan oleh Gregorius S. Harianto (Fraksi PDKB) dan
Pataniari Siahaan (Fraksi PDIP) secara eksplisit menyatakan bahwa obyek hak
angket KPK adalah eksekutif, bukan mencakup seluruh cabang kekuasaan karena
fokus pembahasan sidang tersebut adalah menjaga keharmonisan dalam hubungan
sistem pemerintahan Presidensial. Hal ini berarti, penafsiran berdasarkan original intent tersebut digambarkan
secara limitatif, sesuai dengan Pasal 79 Ayat (3) dan Penjelasannya. Selain
berkaca pada risalah konstitusi, kenyataan bahwa angket terhadap KPK
inkonstusional dapat dilihat pada norma materil Pasal 199 Ayat 3 UU MD 3 dimana
pasal tersebut mengisyaratkan bahwa hak angket hanya dapat dilaksanakan jika
mendapat persetujuan dari rapat paripurna sebesar ½ dari jumlah anggota DPR
yang hadir, selain itu merujuk pula pada Pasal 20 Ayat 2 UU MD dimana Panitia
Khusus (PANSUS) hak angket harus terdiri dari semua unsur fraksi. Namun,
kenyataanya apa yang sedang digiatkan DPR menjadi tidak prosedural karena
cacatnya kedua pasal ini sebagai syarat administratif adanya hak angket DPR
terhadap lembaga apapun, termasuk KPK.
Tindakan
limitation of power constitutional
boundary yang dilakukan DPR menimbulkan pandangan miring terhadap tujuan
murni dari pengguliran hak angket karena sifatnya yang memancarkan kepentingan
politis karena kronologis munculnya hak angket dari Pansus DPR dirasa janggal
sejak awal, dimana Miriam S. Haryani menjadi salah satu “bom waktu” bagi
pemangku kekuasaan di Senayan terkait mega proyek E-KTP. Anggota Pansus
sekaligus daftar orang yang sedang diperiksa KPK membuat publik bergejolak dan
kehilangan legitimasi atas dasar moral terhadap hak angket DPR yang penuh tanda
tanya besar. Kesan tersebut tak dapat dihindari karena kebutuhan akan
pengawasan DPR muncul secara tiba-tiba, sedangkan masih ada mekanisme yang jauh
lebih etis dan terhormat untuk mengawasi KPK.
Jika
permasalahan terletak pada seberapa demokratiskah KPK untuk dikoreksi, maka
jawabannya terletak pada hasil evaluasi tahunan KPK yang akan diserahkan setiap
akhir tahun kepada Presiden dan DPR untuk dibahas bersama, sehingga kekurangan
KPK dalam melaksanakan tugas dapat dibahas lewat ranah evaluasi sehingga proses
checks and balences tidak datang dari
kubu sepihak saja. Masalah hak angket selalu berujung impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presidenpun tidaklah
logis ditujukan kepada KPK karena marwah kedua lembaga yang berbeda. Supremasi
hukum sebagai pokok konsepsi Negara Hukum dianggap gagal karena persoalan yang
diselesaikan oleh kekuasaan DPR yang melegitimasi haknya dalam bingkai suatu
kekuasaan negara, bukan berpedoman pada hukum. Bahwa alasan tersebut mewadahi
pemaknaan norma secara berbeda-beda karena penafsiran norma a quo yang sifatnya tidak memperjelas
batasan apa sajakah yang harus dipatuhi DPR dalam menjalankan hak angketnya.
Meskipun
kewenangan dalam tubuh DPR sifatnya inherent
dalam menjalankan institutionalized
power (kekuasaan yang dilembagakan) terhadap lembaga masing-masing. Bahwa
memperluas obyek hak angket terhadap seluruh pelaksana undang-undang dan/atau
pemerintah akan mempengaruhi tugas dan fungsi instansi tersebut, terutama
komisi Independen. Hal ini dimaknai KPK sebagai ancaman karena dalam
melaksanakan haknya, selain memberi perluasan norma a quo, DPR juga membuka ruang yang lebar dalam menjalankan proses
investigasi terhadap KPK dengan meminta dokumen yang diperlukan dan memasuki
daerah yustisial yang merupakan kewenangan penuh dan mutlak dari KPK sebagai
lembaga anti rasuah. Sehingga, angket DPR terhadap KPK terkesan sebagai suatu
keniscayaan yang dilegalkan, yang berarti meski nyaris tidak mungkin dilakukan,
namun DPR memiliki beribu macam cara untuk melegalkan apa yang menjadi
kepentingannya.
C. PENUTUP
Lord
Acton berpandangan bahwa “powers tends to
corrupt, absolute power corrupt absolutely” yang bermakna bahwa kewenangan yang digulirkan dari kekuasaan
selalu memiliki kecenderungan untuk menyimpang. Keputusan DPR memberikan hak
angket terhadap KPK memunculkan suatu polemik yang tidak simpleks, melainkan
amat kompleks yang dilirik dari segi pro maupun kontranya. Argumen
pro yang mendukung hak angket berpendapat bahwa fungsi angket bukan semata-mata
bersifat kepentingan, melainkan guna memperkuat fungsi checks and balences terhadap KPK sehingga muncullah evaluasi,
monitoring, dan kontrol sebagai bagian dari perjalanan demokrasi di
pemerintahan, termasuk di lembaga independen sekalipun.
Sedangkan
pihak yang bersebrangan menyatakan bahwa kronologis politis penuh kepentingan
akhirnya memisahkan KPK dari DPR sebagai pembuat undang-undang. Hal ini terjadi
karena DPR melakukan perluasan norma a
quo dalam memutuskan obyek hak angketnya, meskipun KPK merupakan cabang
pemerintahan baru. Selain itu, KPK merasa diintervensi karena kewenangan area
yustitialnya diserobot oleh lembaga lain. Namun, diharapkan bahwa perdebatan ini
sebagai pembelajaran bersama, langkah awal dari wujud good governance adalah penyelenggaran pemerintahan yang solid dan
bertanggung jawab, serta efektif dan efisiensi dengan menjaga “kesinergisan”
interaksi konstruktif diantara domain-domain negara, dalam hal ini
pemerintahan, swasta dan masyarakat madani, diharapkan dapat tercapai sehingga
kompeksitas hubungan antar sesama lembaga tidak memberikan efek domino yang
buruk dari sebuah dinamika ketatanegaraan Republik Indonesia.
*artikel ini pernah dilombakan dalam seleksi Debat Konstitusi Antar Mahasiswa Se-Indonesia oleh Mahkahmah Konstitusi Tahun 2018 dan dinyatakan lolos seleksi artikel ilmiah untuk selanjutnya mengikuti tahapan lomba di Universitas Muhammadiyah Malang.
*artikel ini pernah dilombakan dalam seleksi Debat Konstitusi Antar Mahasiswa Se-Indonesia oleh Mahkahmah Konstitusi Tahun 2018 dan dinyatakan lolos seleksi artikel ilmiah untuk selanjutnya mengikuti tahapan lomba di Universitas Muhammadiyah Malang.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU DAN JURNAL
Sedarmayanti,
2004, Good Governance (Kepemerintahan
yang Baik) Bagian Kedua, Bandung: Mandar Maju
Isharyanto,
2016, Hukum Kelembagaan Negara, Yogyakarta:
DeePublish,
Purboadji
Aristo, 2016, Demokrasi Kuat Mimpi Buruk
Koruptor, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Indrayana
Denny, 2008, Indonesian Constitutional
Reform 1999-2000: An Evaluation of Constitution-Making In Transition,
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
Cappelletti
Mauro, 1985, Chapter 51: “Who Watches the
Watchman?” A Comparative Study on Judical Responsibility in Judical
Independence: The Cotemporary Debate, Dordrecht: Martinus Nijhoff
Publishers
Kovacic
E. William & Winerman Mark, 2015, The
Federal Trade Commison as an Independent Agency: Autonomy, Legitimacy, and
Affectivenes in Iowa Law Review, Iowa: The University of Iowa GPSG Press
Undang-Undang,
Putusan, dan Risalah Sidang
UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan
UU
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Depan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Putusan
MK Nomor. 012-016-019/PUU-IV/2006
Naskah
Komprehensif Perubahan UUD NRI Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan
1999-2002, Buku III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid 2, Sekretariat
Jendral Kepaniteraan MK, 2010
[1]
Sedarmayanti, 2004, Good Governance
(Kepemerintahan yang Baik) Bagian Kedua, Bandung: Mandar Maju, hlm. 5
[2] Lampiran
I UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan
[3] “ ...
Connections beyond and behind separateness, converging and/or diverging trends
behind differences...” Mauro Cappelletti, 1985, Chapter 51: “Who Watches the Watchman?” A Comparative Study on Judical
Responsibility in Judical Independence: The Cotemporary Debate, Dordrecht:
Martinus Nijhoff Publishers, hlm. 550
[4] William
E. Kovacic & Mark Winerman, 2015, The
Federal Trade Commison as an Independent Agency: Autonomy, Legitimacy, and
Affectivenes in Iowa Law Review, Iowa: The University of Iowa GPSG Press, hlm.
298
[5]
Isharyanto, 2016, Hukum Kelembagaan
Negara, Yogyakarta: DeePublish, hlm. 207
Komentar
Posting Komentar