PENCABUTAN HAK POLITIK BAGI TERPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI


POLEMIK PENCABUTAN HAK POLITIK
BAGI TERPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI*
Berdasarkan Perspektif Pro dan Kontra

Maria Vicienza da Rosa Wego, Robinson P. Nguju Nau, Bunaiyah Dean
Universitas Nusa Cendana, Jl. Adi Sucipto Penfui
E-Mail: Sensawego@gmail.com



A.              Pendahuluan

Berbicara tentang sebuah Negara tentu tidak terlepas dari konstitusi. Pada prinsipnya, Negara tanpa Konstitusi tidak akan dapat berjalan dengan baik. Antara Negara dan Konstitusi dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang tak dipisahkan. Apabila suatu Konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa, maka Konstitusi tersebut bukan saja berlaku dalam arti hukum (legal), melainkan merupakan suatu kenyataan (reality) dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Hal ini berarti Konstitusi wajib dijalankan secara murni dan konsekuen[1], termasuk dalam mewujudnyatakan Konstitusi dalam penegakkan hukum. Sebagai panglima tertinggi, hukum memiliki peranan yang sentral dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermastarakat sehingga tercapainya kepastian arah dalam pemecahan berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Indonesia merupakan negara hukum.

Dalam prakteknya, penegakkan hukum di Indonesia tidak berjalan dengan mudah dengan muncuknya berbagai tindakan kejahatan dan pelanggaran yang diakibatkan oleh pola pergerakan pertumbuhan di berbagai lini yang semakin pesat dari waktu ke waktu. Masalah-masalah sosial ini mulai muncul tatkala masyarakat dalam era global memiliki basis yang bersifat ekonomi yang dicampur adukkan dalam struktur kelas sosial. Dalam basis inilah berkembang struktur yang terdiri dari cara berpikir, pandangan hidup, agama, filsafat, sistem hukum, bentuk sampai asas pemerintahan. Dengan kata lain, pendapat Karl Marx bahwa faktor ekonomilah penentu proses sosial, politik, dan intelektual sebuah bangsa[2] dapat disetujui. Ketika faktor ekonomi menjadi penentu dalam kehidupan moderen zaman ini maka semakin tinggi tingkat perilaku amoral yang dilakukan masyarakat, tak terkecuali mereka yang menjadi aparatur negara dan pejabat berwenang sering kali terjerumus dalam kubangan “penuh lumpur” yang sama, yang dikenal sebagai korupsi.


Selayang Pandang tentang Korupsi

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  1. Kerugian keuangan negara;
  2. Suap-menyuap;
  3.  Penggelapan dalam jabatan;
  4. Pemerasan;
  5. Perbuatan curang;
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;
  7. Gratifikasi

Usaha untuk memberantas korupsi telah menjadi masalah global, bukan lagi nasional maupun regional. Gejala korupsi timbul hampir disetiap negara di dunia, terutama yang sedang membangun seperti di Indonesia. Menurut Sudarsono dalam Kamus Hukum, korup merupakan tindakan menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi sedangkan korupsi ialah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Tindakan penggunaan jabatan atau pengaruh politik ini merupakan salah satu modus korupsi yang terkenal dikalangan pejabat baik tingkat pusat maupun daerah. Kondisi nyata diatas merupakan perwujudan demokrasi yang pada hakekatnya mempertahankan kekuasaan, namun mirisnya sembari meraup keuntungan dari kekuasaan yang diberikan lewat cara merugikan kekuangan negara dengan suap, penggelapan jabatan, pemerasan, perbuatan curang lainnya, benturan kepentingan dalam kegiatan pengadaan, hingga gratifikasi[3].


Pengertian Hak Politik dan Sekelumit Masalah Dibaliknya

Hak politik merupakan satu dari sekian banyak hak yang diberikan oleh hukum kepada Warga Negara dengan maksud untuk ikut serta dalam pembentukkan kehendak negara. Hak politik utama ialah memberi suara atau turut serta dalam pemilihan anggota badan legislatif maupun pejabat negara lainnya seperti kepala negara dan hakim. Kehendak negara yang menjelma dalam pembentukan dan pelaksanaan norma-norma hukum, maka karateristik penting dari hak politik adalah memberi kemungkinan hukum bagi tiap individu untuk berpartisipasi dalam pembentukkan dan pelaksanaannya. Namun tanpa disadari, politik rekayasa telah dimulai secara sempurna, ketika seorang aktor politik baik yang berasal dari pemerintahan maupun non pemerintahan menjalankan aksi dengan menjadi aktor utama dibalik keputusan yang diambil oleh elit pemerintahan yang merupakan perwakilan dari partai politik. Hal inilah yang kemudian digolongkan publik menjadi area korupsi. Dalam bagian pertama bukunya yang berjudul The Hubris of The Elite[4], Kevin O’Rourke mengemukakan bahwa seorang elit berada jauh atau terpisah dari massa, sebagai orang-orang terpilih yang mempunyai hak-hak istimewa.

Massa yang dalam pembagiannya menurut Herbert Feith dalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menjelaskan bahwa hanya elit politik atau political elite dan politik publik atau public political saja yang memainkan perannya dalam suatu perumusan kebijakan, sedangkan massa lebih banyak menjadi “gaung” diluar proses politik tersebut. Hal ini memicu reaksi terhadap ketimpangan politik yang kemudian datang membawa berita buruk mengenai bobroknya sistem pemerintahan zaman ini terutama dengan kasus-kasus penyimpangan terhadap hukum yang akibatnya bersifat besar dan meluas seperti korupsi. Kejadian potensial semacam ini menyebabkan muncunya krisis saling percaya atau crisis of mutual trust dimana ketidakpuasan atas kinerja pemerintah yang dalam usahanya memakmurkan rakrat justru menjadi sarang penguras harta negara. Situasi “keterputusan” (disconnected) antara negara dan masyarakat, antara dorongan kekuasaan yang sah dan desakan masyarakat banyak mewujudkan diri dalam bentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang muncul pada tahun 1999 dan mengalami revisi pada tahun 2001 dengan penyesuaian berbagai pasal, termasuk diantaranya model hukuman yang dapat dijatuhkan kepada terpidana tindak pidana korupsi.

Selain hukuman penjara dan denda, yaitu pasal mengenai pidana tambahan berupa perampasan barang, pembayaran uang pengganti (yang sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi), penutupan perusahaan untuk waktu tertentu, pencabutan hak tertentu atau ketentuan tertentu yang telah atau dapat diberikan pemerintah kepada terpidana tindak pidana korupsi.




B.    Pembahasan

Kajian atas pengaruh ekonomi atas perilaku sosial politik kemasyarakatan bermuara pada penilaian kembali atas kedudukan negara. Pendekatan berbasis economic approach to politics and law ini banyak dilakukan di negara berkembang. Menurut Wahyudi Kumorotomo, pejabat selama ini menganggap diri sebagai penguasa atau authorities, jarang menyadari peranannya sebagai pelayan masyarakat (public servant). Budaya paternalistik atau kekeluargaan menjadi faktor rendahnya kualitas pelayanan publik, juga disebabkan karena timbul kecenderungan memberikan keistimewaan terhadap mereka yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat bersangkutan, entah dari segi hubungan darah hingga relasi sosial politik ekonomi pun ikut andil dalam timbulnya kasus korupsi yang menatasnamakan jabatan. Sehingga Restoring the State to Political Science sebagai hasil dari pergolakan panjang dari masyarakat sipil (civil society). Negara tidak lagi dipandang sebagai suatu kesatuan dari sistem yang rigid atau kaku, melainkan sebagai instans yang melindungi, membina, dan membimbing masyarakat sipil sehingga dalam hal ini Negara berdasarkan atas Konstitusi yang berlaku memiliki kekuasaan yang mengikat masyarakat yang berdiam dibawahnya dengan sejumlah aturan dan sanksi hukum.

Kekuasaan Negara juga nampak pada pelaku tindak pidana korupsi dengan penjatuhan berbagai jenis hukuman lewat lembaga berwenang yang menjadi perenjawantahan publik. Sebagai negara hukum atau rechtstaat, Indonesia menjamin kekuasaan kehakiman yang bebas daru segala tekanan untuk menjalankan peradilan dalam proses menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan sah dan tidaknya tindakan pemerintah terhadap masyarakat, sampai penghilangan hak hidup seseorang. Hak hakim untuk memutus perkara inilah yang kemudian menjadi dasar lain penjatuhan hukuman terhadap terpidana kasus korupsi, tanpa intervensi pihak lain. Namun, di kemudian hari  muncul perdebatan di berbagai kalangan terkait penjatuhan hukuman pencabutan hak politik bagi terpidana tindak pidana korupsi yang ditinjau dari segi pro dan kontra.


Pro: Pencabutan Hak Politik, Instrument of Coercion by Law

Korupsi menjadi bahan perbincangan lintas negara, termasuk dalam United Nations Convetion Against Corruption atau UNCAC pada tahun 2003 dimana korupsi digolongkan bangsa-bangsa di dunia lewat Konvensi PBB sebagai ancaman yang mengganggu stabilitas nasional dan internasional sehingga perlu penanganan secara tepat. Sesuai Pasal 10 KUHP, ada tiga jenis pidana tambahan yang dapat dijatuhkan hakim dalam putusan pemidanaan terhadap seorang pelaku kejahatan atau pelanggaran. Yaitu, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. KUHP juga mengatur beberapa macam hak terpidana yang dapat dicabut oleh hakim. Berdasarkan Pasal 35 KUHP, hakim dapat mencabut hak-hak terpidana, seperti hak memegang jabatan umum atau jabatan tertentu, hak memasuki angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan, hak menjadi penasihat hukum atau pengurus, hak menjadi wali atau pengampu, serta hak untuk menjalankan mata pencaharian tertentu termasuk didalamnya pencabutan hak politik untuk ikut serta dalam proses percaturan politik dalam berbagai bentuk.

Pada dasarnya, hukuman merupakan suatu perasaan yang tidak mengenakkan atau sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-Undang Hukum Pidana[5]. Menurut Aselm von Feurbach, hukuman haruslah memiliki sifat memaksa dan efek yang “menakutkan” masyarakat agar tidak berbuat jahat dan melanggar peraturan sehingga terciptanya masyarakat tertib hukum. Teori pemaksa atau afchrikkingstheorie ini memberikan efek jera terhadap para pemangku kebijakan yang biasanya berafiliasi dengan partai politik dan segala kegiatan berbau politik lainnya. Untuk menciptakan good governance, pemerintah dituntut untuk memutus mata rantai korupsi yang sudah menyebar semakin luas. Praktik korupsi zaman ini tidak hanya melibatkan elit politik dan pejabat pemerintahan yang dibiayai oleh uang negara, melainkan pihak swasta dan asing juga turut bekerja sama menciptakan lahan baru bagi tindakan korupsi yang digiatkan secara masif dan terencana bagai bagian dari extra ordinary crime yang membutuhkan extra ordinary measures pula. Pemberian hukuman tambahan merupakan salah satu cara ampuh memberantas korupsi yang memberikan schock therapy bagi pejabat publik yang memegang jabatan selama kurun waktu beberapa tahun agar memperhatikan contoh kasus yang melilit Lutfhi Hasan Ishak yang terbukti melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi mendapat sejumlah besar imbalan dari PT. Indoguna Utama terkait kuota impor daging sapi. Pencabutan hak politik terhadap terpidana tindak pidana korupsi haruslah dijadikan sebagai rujukan hukum atau yurisprudensi bagi hakim-hakim di tingkat pengadilan dibawahnya sebagai jaminan bagi kepastian hukum.

Pencabutan hak politik ditinjau dari tujuan hukumnya, yaitu untuk melindungi masyarakat terhadap perbuatan jahat (ajaran prevensi umum)[6] bukan semata-mata menitikberatkan pada teori absolut atau teori pembalasan (Vergeldings Theorien) melainkan pada usaha memperbaiki ketertiban umum yang sempat goyah karena kasus korupsi. Korupsi menimbulkan rentetan permasalahan yang biasa dikenal sebagai snowball or domino effect dimana empat dampak utamanya adalah memperburuk kesenjangan pendapatan dan kemiskinan, mengurangi tingkat investasi dan perkembangan ekonomi juga menghapuskan demokrasi dan merendahkan keterwakilan. Dampak dari kasus korupsi bukan hanya dirasakan saat ini, namun lebih dari itu berdampak hingga ke beberapa periode berikutnya. Sehingga untuk menjaga terulangnya kasus sedemikian rupa, hukuman pokok harus memperoleh kekuatan yang memberi efek jera berganda dengan hukuman tambahan. Fungsi hukuman tambahan termasuk pencabutan hak politik ini adalah memperkecil kemungkinan terjadinya kasus korupsi berulang. Ketika para pejabat yang notabene terafiliasi oleh partai politik dan kepentingan politik lainnya dicabut hak berpolitiknya, masyarakat akan terhindar dari keputusan-keputusan yang biasanya disahkan melalui lembaga pemerintahan yang dipimpin atau memuat anggota yang amoral dan korup yang biasanya kerap mendoktrinasikan masyarakat politik dengan informasi dan pemberian yang sifatnya menunjang usaha korupsi, terutama yang berkaitan dengan hajat hidup banyak orang. Hal ini diperburuk dengan sifat partai yang berciri sentralistis atau democratic centralism serta hirarkis dan beriklim politik tidak kompetitif, maka baik pemilu maupun pilkada bukan lagi merupakan alat untuk menunjukkan loyalitas Warga Negara terhadap Negara melainkan sebagai sarana “memperkaya diri” lebih lanjut.

Ketika diberikan tanggung jawab oleh negara untuk melaksanakan tugas sabagai pemangku kebijakan yang memiliki kewajiban mengadministrasi keadilan sosial dan terwujud dalam kesejahteraan rakyat, para pejabat publik yang tersangkut kasus korupsi justru tidak demikian. Menjadi penghambat pembangunan dan sumber kerugian negara, para pelaku tindak pidana korupsi ini hanya berkemungkinan melakukan tindakan tersebut atas dasar jabatan yang diembankan kepadanya sebagai bagian dari an abuse of public power for private gains[7] atau penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi sehingga korelasi antara faktor pendukung terjadinya pelanggaran dan hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana menjadi logis karena memiliki korelasi satu dengan yang lain. Sejalan dengan konsepsi Derogable Right dimana hak seseorang dapat dibatasi atau ditangguhkan pemenuhannya oleh Negara dalam kondisi tertentu. Namun, hal ini bukan berarti pembatasan hak atau kesempatan manusia sebagaimana yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melainkan merupakan strategi mendasar atau the basics strategy dalam penanggulangan kejahatan yang mencakup penanggulangan kausatif atau meminimalisir sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan serta pendekatan integral komperhensif dalam menggunakan kebijakan sosial.

Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi polemik sebanarnya bukan merupakan hal ikhwal yang harus diperdebatkan secara lebih lanjut karena pada dasarnya ketika hukum pidana dijalankan, apapun jenisnya kepribadian yang dikenakan hukuman tadi telah dilanggar dan haknya telah dirampas, termasuk kemerdekaannya. Namun, penjatuhan vonis yang dilakukan berdasarkan pertimbangan terhadap hasil atau tujuan hukum pada umumnya yaitu melindungi kepentingan banyak orang walaupun bertentangan dengan hak individual seseorang yang menjadi obat terakhir atau ultimum remedium, sehingga klausa pencabutan hak politik dapat menjadi alat pemaksa yang diberikan oleh hukum atau Instrument of Coercion by Law untuk memberikan pemahaman bahwa korupsi yang timbul atas bayang-bayang politik dapat dihentikan dengan memutus mata rantai yang menjadi faktor paling krusial penyebab terjadinya korupsi.


Kontra: Pencabutan Hak Politik dan Pertentangannya dengan UUD NRI 1945

Menurut Pasal 28C ayat (2) “setiap orang berhak untuk mengajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secaar kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan Negara-nya. Karena setiap individu memiliki keinginan dan kerinduan untuk membangun bangsanya yang kemudian dibatasi. Hal ini juga tidak terlepas bahwa setiap manusia memiliki kelemahan dan sering kali melakukan kesalahan. Namun, mereka perlu diberikan kesempatan untuk memperbaiki dan membuktikan bahwa hukum pidana yang berlaku atas mereka telah menimbulkan efek jera, sehingga tidak perlunya hukuman tambahan dijatuhkan. Sesuai dengan staat fundamental norm (hukum dasar Negara) yaitu UUD NRI 1945, menghapus atau meniadakan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.

Hal tersebut bertolak belakang dengan pasal Hak Asasi Manusia (HAM) dalam UUD NRI 1945 Pasal 28D ayat (3). Apabila tetap dilakukan pengenaan sanksi pencabutan hak politik bagi koruptor maka harus ada perombakan hukum dalam sendi ketatanegaraan. Putusan Mahkama Konstitusi atas permohonan Jumanto dan Fathor Rasyid yang memberikan kuasa kepada Prof Dr. Yursil Ihza Mahendra sehingga mantan terpidana korupsi bisa mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah asalkan mengumumkan diri ke publik atas vonis itu yang berpendapat bahwa Pasal 7 huruf g UU Pilkada sudah seharusnya untuk ditafsirkan sesuai dengan isi Putusan MK No 4/PUU-VII/2009.

Pasal 35 KUHP, hakim dapat mencabut hak-hak terpidana, seperti hak memegang jabatan umum atau jabatan tertentu, hak memasuki angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan, hak menjadi penasihat hukum atau pengurus, hak menjadi wali atau pengampu, serta hak untuk menjalankan mata pencaharian tertentu dan Sebagai contoh ketentuan Pasal 52 KUHP yang berbunyi:
“bila seorang pejabat melakukan tindak pidana, melanggar satu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, maka pidananya dapat ditambah sepertiga”.

Ketika merujuk pada dua pasal ini urgensi yang lebih spesifik untuk mengatur tentang pejabat yang bermasalah adalah Pasal 52 sedangkan yang tercantum dalam pengertian Pasal 35 merupakan penafsiran secara umum dari Pasal 10. Pasal 52 secara pasti menekan pada profesi seorang pejabat dan penekanan terhadap  pidana tambahannya berupa hukum yang ditambah sepertiga. Oleh karena itu, tidak serta merta alternatif yang di gukanakan haruslah mengorbankan hak politik seseorang. Pada prinsipnya bahwa, ketika hukuman penjara tidak cukup apalagi yang dicabut hak politiknya yang di penjarakan di atas 8 tahun, maka contoh kasus dari Irjen. Pol Djoko Susilo yang dalam perkara banding yang disidangkan majelis hakim yang terdiri dari Rocky Panjaitan, Humuntal Pane, Djoko, Sudiro, dan Amiek, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat pidana terhadap Djoko dengan pidana penjara 18 tahun, denda Rp 1 miliar, dan pembayaran uang pengganti Rp 32 miliar. Pengadilan Tinggi DKI juga menjatuhkan vonis tambahan berupa pencabutan hak politik. Dalam putusan yang dibacakan pada 18 Desember lalu itu, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI menyatakan hak Djoko untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik dihapuskan.

Sehingga dalam menjalankan hukum tidak dipandangan dalam satu sisi, namun perlu melihat terpidana sebagai subyek yang dikenai hukuman sebagai  manusia yang harus di perjuangkan haknya. HAM berakar dari ribadi manusia karena kemanusiaanya, jika dicabut maka hilang juga sifat kemanusiannya yaitu, pada Pasal 73 UU HAM. Hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik dapat digolongkan dalam hak atas kemerdekaan berpikir dan hati nurani. Memilih dan dipilih berarti menggunakan pikiran dan hati nurani secara merdeka tanpa ada intervensi siapapun. Sehingga hak politik atau hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik termasuk salah satu hak asasi manusia yang sifat umumnya tidak terkena batasan (Budiardjo, 2009). Karena ahwa tiap orang mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya, sehingga harus di berikan kesempatan. Koruptor adalah pelaku tindak pidana korupsi, dan akan ditetapkan sebagai terpidana apabila telah diputuskan oleh pengadilan untuk menjalankan hukuman. Koruptor adalah bagian dari masyarakat, atau rakyat yang keberadaannya sama didepan hukum, serta dilindungi oleh negara sebagai eksekutor negara. Teruma berkaitan dengan hak asasi manusia yang melekat pada diri manusia, yang tidak mungkin bisa dihapuskan serta merupakan hak kodrati sesuai karena bermahzab pada hukum kodrati (Davidson, 2008). Yang berarti koruptor juga harus di perlakukan sama di depan hukum dalam artian diskriminasi bahwa korupsi sendiri yang dapat di cabut hak politiknya bukanlah keputusan yang tepat. Pasal 28D yaitu perlakuan sama di depan hukum dan hak untuk tidak mendapat perlakuan tidak deskrimintif pasal 28I ayat (2).

Mengurung seseorang di jeruji penjara atau merampas harta bendanya juga merupakan pelanggaran HAM, tetapi dengan alasan tertentu yang diatur dengan dan di dalam UU maka HAM setiap orang itu bisa dirampas atau dikurangi. Itu bersesuaian dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang menarik untuk diperhatikan dan tak bisa diabaikan adalah kritik bahwa hukuman pencabutan hak politik itu berlebihan.  Berlebihan karena tanpa dijatuhi hukuman tambahan seperti itu pun orang yang terbukti melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman karena korupsi memang secara otomatis tercabut hak politiknya untuk menjadi pejabat publik sehingga penjatuhan hukuman tambahan sudah tidak lagi relevan dengan keadaan kemanusiaan yang kerap digaungkan zaman ini.

C. PENUTUP

“ Geef me goede Rechters, goede Officieren van Justitie, goede Rechter Commisarissen en goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht Wetboek van Strafprocesrecht het goede bereiken “ – Tavarne (Pakar Hukum Belanda)

Hukum positif adalah hukum yang berlaku sungguh-sungguh sebab merupakan tata tertib yang tegas untuk kebaikan umum mencakup keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat[8]. Menurut J.J Bruggink dalam bukunya Rechtsreflecties, Grondbegrippen Uit de Rechtstheorie (Refleksi Hukum, Pengertian Dasar Teori Hukum) bahwa yang dimaksud dengan “positivitas” kaidah hukum adalah hal ditetapkannya kaidah hukum dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kekuasaan hukum yang berwenang (bevoegde rechtsautoriteit). Hukum positif sering kali menjadi pokok permasalahan dari suatu kasus di Indonesia, termasuk kasus korupsi. Salah kaprah bahwa penyebab terus meningkatkan kasus korupsi dari tahun ke tahun merupakan konsekuensi dari peraturan perundang-undangan yang kurang lengkap atau kurang “menghukum” masyarakat. Setiap lapisan negara sering kali melihat kekurangan dari hukum positif yang berlaku, tanpa menilik jela bahwa penyumpang terbesar korupsi adalah sistem administrasi negara dan ketidakmampuan pejabat publik menjalankan tugas dan tanggung jawab secara berintegritas.

Untuk itu, political will dari pemerintah menjadi syarat mutlak selain tindakan represif seperti penjatuhan hukuman kurungan penjara, denda, sampai pencabutan hak menduduki suatu jabatan dan tindakan preventif lainnya. Prinsip “ Berikan saya hakim yang baik, Jaksa yang baik, Hakim Komisaris yang baik dan Pejabat Polisi yang baik, maka saya akan membuat Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang jelek menjadi baik “ kiranya juga menjadi dasar pertimbangan. Sebab, akar mula permasalahan perbedaan pendapat adalah penjatuhan vonis hakim terhadap tiap individu pelaku tindak pidana korupsi yang berbeda-beda, ada yang dicabut hak berpolitiknya dan ada yang tidak walaupun sama-sama melakukan tindakan tercela yaitu korupsi dan mengakibatkan negara merugi. Ikhtiar menyelesaikan kasus korupsi tidak semata datang dari argumentasi hukum dari segi sosial kemasyarakatan, baik pro atau kontra terhadap pencabutan hak politik terpidana tindak pidana korupsi. Namun lebih dari itu, menyasar setiap pribadi untuk berani dengan tegas memberantas kasus korupsi.


*artikel ini pernah dilombakan dalam seleksi Debat Konstitusi Antar Mahasiswa Se-Indonesia oleh Mahkahmah Konstitusi Tahun 2017 dan dinyatakan lolos seleksi artikel ilmiah untuk selanjutnya mengikuti tahapan lomba di Universitas Jember.



DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Kusnardi Moh, Harmaily Ibrahim. 1988. Hukum Tata Negara. Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia & CV. Sinar Bakti. Jakarta Selatan.
Moore, Stanley. 1980.  Marx on the Choice Between Socialism and Communism. Harvard University Press. Cambridge.
O’Rourke, Kevin. 2000. Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia., Crows Nest. NSW (Australia).
Dirdjosisworo, Soedjono. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. Rajawali Press. Jakarta.
Said Sugiarto, Umar. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta Timur.
Andi Hamzah, Jur. 2005. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara. Sinar Grafika. Jakarta Timur.
Hisyam, Muhammad. 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Budiardjo, Miriam. 1999. Demokrasi di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Feith, Herbert. 1962. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Cornell University Press. New York.
Undang-Undang
UU PTPK No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001
Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Politeia. Bogor
Jurnal Data
World Bank. 1997. World Development Report-The State in Changing World. World Bank Publishing. Washington DC.





[1] Moh. Kusnardi S.H & Harmaily Ibrahim S.H,. 1988,. Hukum Tata Negara,. Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia & CV. Sinar Bakti,. Jakarta Selatan,. Hal. 72
[2] “Private Property and Communism”,. dikutip oleh Stanley Moore,. 1980,. Marx on the Choice Between Socialism and Communism,. Harvard University Press,. Cambridge,. Hal. 16
[3] UU PTPK No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 dalam pamflet Mengenal Korupsi dari KPK
[4] Kevin O’Rourke,. 2000,. Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia., Crows Nest,. NSW (Australia)
[5] R. Soesilo,. 1994,. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,. Politeia,. Bogor
[6] Umar Said Sugiarto,. 2013,. Pengantar Hukum Indonesia,. Sinar Grafika,. Jakarta Timur,.  Hal. 70
[7] World Bank,. 1997,. World Development Report-The State in Changing World,. Washington DC,. World Bank.
[8] Soedjono Dirdjosisworo,. 1983,. Pengantar Ilmu Hukum,. Rajawali Press,. Jakarta,. Hal. 170

Komentar

Postingan Populer