PROSENTASE SELISIH SUARA UNTUK MENGAJUKAN SENGKETA HASIL PILKADA


PEMBERLAKUAN PROSENTASE SELISIH SUARA DALAM PENGAJUAN SENGKETA HASIL PILKADA

Maria Vicienza da Rosa Wego
Universitas Nusa Cendana, Jl. Adi Sucipto Penfui
E-Mail: Sensawego@gmail.com

A.    PENDAHULUAN

Sebagai sebuah negara demokratis, Indonesia menjamin hak-hak individual manusia untuk berpatisipasi dalam kegiatan politik. Sesuai yang diamanatkan dalam Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang termaktub dalam Pasal 28 Ayat 2 mengenai hak untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara serta pada Pasal 28D Ayat 3 mengenai kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Menduduki suatu jabatan merupakan konsep partisipasi politik dimana kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilaksanakan pula oleh rakyat untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dengan cara menentukan siapa sajakah yan memegang tampuk kepemimpinan. Sehingga pemilihan umum yang dilakukan baik untuk memilih kepala negara, daerah, hingga tingkat desapun menjadi lambang sekaligus tolak ukur demokrasi. Sebab, hasil pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dan kebebasan berpendapat dan berserikat dianggap akurat guna mencerminkan partisipasi dan aspirasi masyarakat.

Namun sepertinya pemilu mulai diwarnai oleh tanda tanya mengenai sifat representatifnya. Ancaman terhadap proses demokrasi elektoral yang perlu mendapat perhatian adalah terjadinya kecurangan yang sengaja dilakukan untuk memenangkan calon tertentu. Kecurangan (election fraud) terjadi tak hanya dalam pilkada serentak yang baru saja dilaksanakan, tapi hampir di setiap pemilu. Seakan-akan kecurangan ini menjadi bagian dari strategi pamungkas untuk memenangkan calon tertentu ketimbang menggunakan cara yang dibenarkan oleh undang-undang guna mendapatkan suara pemilih. Padahal, pilkada ini merupakan refleksi kesepahaman antar-individu di ranah publik untuk memberi legitimasi pemimpin yang terpilih berdasarkan prinsip jujur dan adil. Sangat di sayangkan jika itu harus dinodai dengan cara-cara di luar aturan yang telah disepakati sehingga sebagai negara yang menjujung demokrasi, Indonesia mengakomodir setiap pelanggaran yang dapat menciderai proses demokrasi negara ini.

Salah satu caranya adalah dengan mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil perhitungan suara jika dianggap perbedaan presentase selisih suara diakibatkan oleh kecurangan atau kesalahan administrasi sehingga dapat diproses lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil perhitungan suara ini mulai menuai perdebatan akibat revisi UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi UU. No 10 Tahun 2016. Pengajuan perkara harus disertai syarat jumlah maksimal presentase selisih suara dari total suara sah hasil perhitungan tahap akhir berdasarkan jumlah penduduk di provinsi, kabupaten, atau kota yang dipermasalahkan. Hal ini menyebabkan pro dan kontra dari berbagai sisi. Masyarakat menilai bahwa ambang batas tersebut justru menciderai proses demokrasi Indonesia dan penegakkan hukumnya sebab banyak laporan yang harus terhenti ditengah jalan, bahkan belum diproses sama sekali sebagai konsekuensi akibat diundangkannya revisi UU Pilkada ini. Namun, sebagian lagi berpendapat bahwa UU Pilkada hasil revisi ini berketetapan hukum dengan cara membatasi kewenangan a quo yaitu sebatas memeriksa dan mengadili perkara perselelisihan penetapan perolehan suara berdasarkan syarat-syarat komulatifnya yang kemudian menjadikan Pilkada diluar area rezim Pemilihan Umum (Pemilu) sehingga berdampak pada perbedaan konsekuensi hukumnya pula. Hal ini yang kemudian akan dikupas lebih lanjut baik dari segi pro maupun kontra.

B. PEMBAHASAN

1. Kajian Berdasarkan Sudut Pandang Pro Pemberlakuan Prosentase Selisih Suara

    Sikap konsisten Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penerapan Pasal158 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dipandang sebagai jalan terbaik penyelesaikan sengketa Pilkada yang sering kali terjadi di Indonesia. Mengadili syarat formal pengajuan sengketa Pilkada ke MK ini hanya bisa dilakukan jika syarat yang diajukan dalam Pasal 158 Ayat 1 dan 2 terpenuhi, dengan ambang batas maksimal 2% dari jumlah suara terbanyak berdasarkan total suara sah pada tahap akhir perhitungan. Keberadaan ambang batas selisih perolehan suara pada dasarnya masuk kategori sebagai sebuah politik hukum pembentuk UU yang menurut Satjipto Raharjo (2000) sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.

    Politik hukum ambang batas selisih perolehan suara ini di satu sisi bisa dikatakan berhasil membangun etika sekaligus budaya politik baru yaitu dalam Pilkada tahun 2015, dari sebanyak 264 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, 132 daerah yang mengajukan permohonan ke MK. Hal itu membuktikan UU ini dapat menjadi Law as a tool of social engineering dalam artian yang positif. Dengan begitu menurut MK, pasangan calon gubernur, bupati, atau walikota di 132 daerah yang tidak mengajukan permohonan ke MK besar kemungkinan dipengaruhi oleh kesadaran dan pemahaman atas adanya ketentuan Pasal 158 UU Pilkada. Hal demikian berarti, fungsi rekayasa sosial UU Pilkada bekerja dengan baik (Putusan MK Nomor 123/PHP.BUP-XIV/2016). Hal ini juga berarti sebagai suatu bentuk kompromi atau konsensus pembentuk UU akibat saling 'lempar' kewenangan penanganan sengketa hasil Pilkada antara MA dan MK, serta untuk memangkas jumlah kasus sengketa hasil pilkada yang ditangani MK.

    UU Pilkada ini juga merupakan bagian dari upaya pembentuk UU untuk mendorong terbangunnya etika dan sekaligus budaya politik yang makin dewasa yaitu seseorang yang turut serta dalam kontestasi Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak serta-merta menggugat suatu hasil pemilihan ke MK dengan perhitungan yang sulit diterima oleh penalaran yang wajar. Mengingat sebelum adanya ketentuan Pasal 158 UU Pilkada harus diakui etika dan sekaligus budaya politik dalam proses Pilkada selama ini memang belum terlalu tinggi, terbukti kurang lebih 85 persen lebih Pilkada berujung sengketa di MK. Selain menghemat anggaran karena jumlah kasus yang ditemui semakin sedikit, UU ini juga turut membantu menyejukkan iklim politik yang sempat berkobar semasa politik dulu. Ketika sengketa diproses lebih lanjut, pertarungan politik yang berujung pada gerakan lini masa akan semakin banyak dan dapat berakibat buruk pagi masyarakat dimana hasil Pilkada tersebut bermasalah. Dengan menggugurkan beberapa kasus yang bekasnya dianggap tidak memenuhi syarat formil secara tidak langsung MK mengembalikan aura dan konstelasi politik yang sebenarnya pada tempatnya. Pilkada sebagai sarana demokrasi diharapkan menjadi bibit tumbuhnya sikap demokrasi harus dikawal dengan benar, jangan sampai menjadi ladang perpecahan yang akan semakin luas jangkauannya jika permasalahan selama Pilkada masih menjadi buah bibir di masing-masing kubu dan menjadi sengketa tak berujung.

    Pada dasarnya, keputusan MK untuk menyortir kasus laporan mengenai kasus sengketa pemilu menggunakan ambang batas tersebut tidaklah menciderai demokrasi dan ciri Indonesia sebagai negara hukum. Perlu dipahami konsep dasar demokrasi dan negara hukum sebenarnya. Jika ditelaah lebih lanjut, hal ini justru menata sistem dan dinamika hukum Indonesia terlebih soal jangkauan peradilan dimana status MK yang diyatakan a quo terhadap kasus ini. Status ini diberikan kepada MK terkait sengketa Pemilu karena merupakan lembaga transisional sembari menunggu peradilan bagi Pemilu segera dimantapkan pembentukkannya. Posisi ini memberi dampak bagi MK untuk memeriksa dan mengadili perkara sesuai dengan UU yang ditetapkan.


2. Kajian Berdasarkan Sudut Pandang Pro Pemberlakuan Prosentase Selisih Suara

    UU Pilkada memang membatasi selisih suara sebagai syarat mengajukan hasil pilkada. Besarannya bervariasi dari selisih 0,5 persen hingga 2 persen tergantung dari jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota atau provinsi. Pasal 158 Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dinilai mematikan demokrasi. Setidaknya 100 dari 119 Sengketa Pilkada 2015 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) akan tersandung dan gugur akibat pasal tersebut. pasal yang liberal, hal itu lantaran, Pasal 158 tentang Pilkada mengatur pembatasan selisih maksimal sebagai syarat formil diterima tidaknya suatu sengketa pilkada.

    Pasal tersebut terasa jauh dari rasa keadilan dan makin merusak citra demokrasi, memakmurkan korupsi dan kecurangan serta semakin melukai rakyat. Hakitkatnya, MK tidak hanya memeriksa perselisihan hasil rekapitulasi dengan simtem kejar target, yaitu selisih suara. MK sebagai pengawal konstitusi harus memeriksa fakta dan indikasi pelanggaran pilkada yang memenuhi standar terstuktur, sistematis dan masif (TSM) serta memengaruhi perolehan suara. Karena bagaimanapun, perluasan objek pemeriksaan terhadap pelanggaran yang TSM selain telah dilakukan MK sebelumnya, juga tidak menyimpang dari UU sehingga tidak menyalahi tugas dan tanggung jawab lembaga itu sendiri. Menurut data yang dihimpun oleh Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti, banyak persoalan yang terjadi pada perhelatan pilkada. Misalnya, masih banyak masyarakat yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), meski diketahui memiliki KTP elektronik.

    Selain itu, dari hasil pemantauan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ditemukan setidaknya 600 kasus dugaan politik uang yang terjadi di 101 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak tahun ini. Oleh karena itu, MK sedianya tak membatasi penyelesaian persoalan pilkada pada pada selisih suara saja. Sebab, hal itu akan menghilangkan substansi dari pelaksanaan pilkada sebagai perwujudan Demokrasi. Ketentuan ambang batas tersebut memicu terjadinya pelanggaran secara masif, termasuk praktik politik uang karena masing-masing pasangan calon (paslon) atau tim pemenangannya akan melakukan upaya apapun agar mendapatkan selisih angka yang terpaut jauh dari paslon yang menjadi pesaingnya.

    Berkaitan dengan hal ikhwal peritungannya pun, masih terdapat kebimbangan sebagai akibat dari dualistisnya arti pasal 158 tersebut. Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR, Ahmad Riza Patria, menilai bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah salah dan keliru dalam menafsirkan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada). Tafsiran MK ini tertuang dalam Peraturan MK (PMK) Nomor 5 Tahun 2015 terkait batasan selisih perolehan suara sebagai syarat formil mengajukan gugatan ke MK karena memiliki kelemahan, kekeliruan dan kesalahan dalam menafsirkan Pasal 158 UU Pilkada yang dapat membahayakan putusan MK bersifat final dan mengikat. Kalangan kontra menilai, kesalahan mendasar MK dalam menghitung persentase adalah menjadikan perolehan suara tertinggi sebagai pembagi dalam menghitung. Padahal, kata dia, sesuai dengan UU Pilkada, pembagi dalam menghitung persentase adalah terhadap seluruh suara sah. Sebab, pembaginya sebenarnya bukan terhadap perolehan suara tertinggi, tetapi dengan seluruh suara sah. Jika menggunakan PMK Nomor 5 terdapat banyak sekali permohonan yang masuk ke MK namun tidak memiliki legal standing. Karena penafsiran MK ini sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 5 Tahun 2015 menyebabkan Komisi II DPR mendapatkan banyak pengaduan dan masukan dari masyarakat. Menurutnya, hampir 70 orang yang berasal dari berbagai organisasi termasuk Forum Masyarakat Peduli Pilkada (FPMP) 2015. Hal tersebut dikarenakan PMK tersebut bertentangan dengan UU Pilkada yang sudah dibuat pemerintah dan DPR melalui Komisi II.

    Perdebatan berlanjut mengenai aapakah MK akan kembali pada cara berpikir generasi hakim MK sebelumnya (era kepemimpinan Moh. Mahfud MD) yang berpegang pada prinsip “keadilan substantif”. Dalam artian, MK tidak terpaku pada soal hitung-hitungan angka, tetapi juga menilai seluruh proses pilkada apakah bertentangan dengan UUD 1945. Hakikat penyelenggaraan Pilkada harus dilakukan secara demokratis. Kalau perbedaan lebih dari 2 persen, tetapi dengan banyak kecurangan dan jika laporan tersebut ditolak oleh MK, pertanyaan yang selanjutnya timbul adalah hakikat MK sebagai guardian of constitution. Kemungkinan MK untuk  tetap berpegang pada doktrin “keadilan substantif” dengan melihat posisi kasusnya harus pula menjadi bahan pertimbang berdasarkan dalil kasusnya yang kuat dan kecurangannya berpengaruh signifikan pada hasil Pilkada, maka pembatasan Pasal 158 UU Pilkada seharusnya bisa diterobos.

    Terkait hal tersebut, MK pernah membatalkan Pasal 50 UU MK yang sebelumnya membatasi produk Undang-Undang yang bisa dimohonkan judicial review pada 2004. Alhasil, semua produk UU yang lama termasuk KUHP bisa dimohonkan pengujian di MK. Putusan yang mengesampingkan Pasal 50 UU MK, sehingga judicial review UU lama seperti KUHP bisa dilakukan. Dengan syarat mutlak bahwa pengesampingkan berlakunya Pasal 158 UU Pilkada terhadap perkara yang kecurangan/pelanggarannya bersifat khusus yang berpotensi merusak tegaknya pemilu yang luber dan jurdil sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Karena itu, pengesampingan pasal itu sepanjang pemohon bisa membuktikan kecurangan yang sistematis yang mempengaruhi perolehan suaranya secara signifikan. Sebagai guardian of the constitution, diharapkan hakim konstitusi punya kebijaksanaan demi menjaga marwah konstitusi. Jika mengetahui terdapat pelanggaran terhadap konstitusi, tetapi dihalangi bunyi UU, maka tidak sesuai dengan roh dan semangat lembaga pelindung konstitusi hanya karena sebuah pasal maka tugas konstitusional yang menjadi jiwa MK dipangkas habis.

C.    PENUTUP

Atas adanya dugaan "penumpang gelap" yang mencoba menyalahgunakan maksud awal lahirnya ketentuan ambang batas selisih perolehan suara tertentu, tidak boleh terus dibiarkan karena hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip pelaksanaan Pilkada demokratis. Untuk itu MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur kekuasaan kehakiman menyelenggarakan peradilan tidak hanya untuk menegakkan hukum melainkan juga menegakkan keadilan perlu mengambil sejumlah langkah dalam mengatasi perilaku menyimpang tersebut. Benar bahwa dalam mengadili perkara sengketa hasil Pilkada, hakim-hakim MK tidak boleh mempertanyakan, memiliki keragu-raguan atau malah menyimpangi ketentuan UU Pilkada mengingat hakim MK tidak sedang menguji konstitusionalitas UU tersebut melainkan sekedar pelaksana UU. Namun yang harus diingat, Hakim MK dalam menegakkan Undang-Undang Pilkada tidak boleh hanya sebatas menegakkan ketentuan Pasal 158 UU Pilkada semata melainkan secara sistematis juga harus menegakkan ketentuan Pasal 2 UU Pilkada yang secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa Pilkada dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Untuk itu terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh MK dalam rangka mengantisipasi perilaku menyimpang yang terjadi sebagai akibat berlakunya Pasal 158 UU Pilkada.

Pertama, MK dalam rangka menegakkan keadilan substansial dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan dalam rangka menegakkan Pasal 2 UU Pilkada maka sebenarnya dimungkinkan dalam perkara-perkara sengketa Pilkada tertentu, yang meskipun pemohon tidak memenuhi persyaratan ambang batas selisih perolehan suara tertentu, namun sepanjang secara pembuktian menunjukkan adanya pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis dan masif-red) yang sangat mencederai asas Pilkada maka MK bisa mengesampingkan berlakunya Pasal 158 UU Pilkada. Dengan kata lain Pasal 158 UU Pilkada haruslah dimaknai dapat diberlakukan sepanjang dalam kondisi normal yaitu tidak terpenuhinya ambang batas pengajuan sengketa bukan karena faktor kecurangan yang TSM, namun karena pilihan murni pemilih. Sebaliknya Pasal 158 UU Pilkada tidak dapat diberlakukan secara mutlak dalam hal nyata-nyata tidak terpenuhinya ambang batas karena perilaku kecurangan TSM. Kelebihan dari opsi pertama ini adalah dikedepankannya keadilan substansial dibandingkan hukum acara prosedural. Sementara kekurangannya adalah aspek kepastian hukum yaitu Pasal 158 UU Pilkada sampai saat ini masih sah atau konstitusional berlaku karena tidak pernah dinyatakan inskonstitusonal oleh MK dalam perkara pengujian UU.

Kedua, untuk memadukan ketentuan dalam Pasal 158 UU Pilkada dengan Pasal 2 UU Pilkada tanpa harus saling meniadakan satu dengan yang lain. MK yang diberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut pedoman beracara sengketa Pilkada dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi sebenarnya dapat menformulasikan unsur kepastian hukum dengan keadilan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi yang dibentuk. Formulasi yang dimaksud adalah hakim-hakim MK dapat membuat pentahapan pemeriksaan persidangan khusus untuk perkara sengketa yang meskipun selisih perolehan suara pemohon dengan pihak terkait (pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak) melebihi ambang batas yang dipersyaratkan oleh Pasal 158 UU Pilkada, namun kelebihan ambang batas tersebut berada dalam prosentase yang tipis (kelebihannya bisa ditetapkan di kisaran paling banyak 1 % atau 2 %). 

Pentahapan pemeriksaan persidangan dimaksud dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Tahap I dan Tahap II. Pemeriksaan persidangan tahap I (pertama) dilakukan untuk memeriksa apakah kelebihan ambang batas yang tipis tersebut (tidak lebih 1 % atau 2%) disebabkan oleh perilaku curang yang bersifat TSM oleh pihak terkait atau termohon (penyelenggara Pilkada). Sebagai contoh, misal untuk Provinsi A yang memiliki jumlah penduduk 10 juta dimana sesuai Pasal 158 dipersyaratkan ambang batas paling banyak 1 %, maka jika pemohon yang mengajukan sengketa ternyata selisih perolehan suara dengan pihak terkait di atas 1% yaitu 2%. Maka seharusnya hakim MK dalam pemeriksaan persidangan tahap I membuka kesempatan untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran TSM. Melalui pemeriksaan persidangan tahap I yang memeriksa mengenai penyebab kelebihan ambang batas tersebut. Selanjutnya akan dibuat keputusan (seperti putusan pendahuluan) khusus mengenai kelebihan ambang batas tersebut yaitu apakah kelebihan ambang batas betul disebabkan oleh pelanggaran TSM ataukah memang karena pilihan pemilih murni. Jika nantinya putusan persidangan tahap I menyatakan kelebihan ambang batas tersebut karena perilaku kecurangan TSM, maka atas dasar keputusan tersebut perkara dilanjutkan kepada pemeriksaan persidangan tahap II yang di dalamnya mulai memeriksa perkara sengketa atas dasar ambang batas yang telah ditetapkan oleh Pasal 158 UU Pilkada. Dikecualikan dari pemeriksaan persidangan tahap I ini adalah perkara sengketa yang ambang batasnya masih memenuhi ketentuan Pasal 158 UU Pilkada.

Akhirnya atas berbagai opsi ini, MK lah yang memutuskan apakah akan melaksanakan ketentuan Pasal 158 UU Pilkada secara ketat yang berarti menjadi mahkamah kalkulator, atau MK akan kembali ke jati dirinya sebagai lembaga peradilan yang dipercaya menegakkan keadilan substantif yang tidak terkekang oleh kekakuan undang-undang yang terkadang tertinggal oleh perkembangan perubahan sosial di masyarakat baik positif maupun negatif. 


Komentar

Postingan Populer