Makalah Bentuk dan Jenis Masyarakat Hukum Adat
TUGAS HUKUM ADAT
BENTUK DAN JENIS MASYARAKAT HUKUM ADAT
OLEH
NAMA : MARIA V. DA ROSA WEGO
NIM : 1602010026
DOSEN WALI : DEDDY
R. CH MANAFE, S.H, M.HUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara
tentang negara Indonesia, tentu tidak terlepas dari sejarah negara itu sendiri,
baik kehidupan sosial maupun budayanya. Berdasarkan seri Enskilopedia Populer
Pulau-Pulau Kecil Nusantara (Kompas, 2015) jumlah pulau di Indonesia adalah
17.504 dengan 4066 pulau yang belum bernama. Dengan begitu banyak pulau yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke, Indonesia didapuk menjadi International Archipelago terbesar
pertama di benua Asia dan dunia oleh PBB disusul Madagaskar yang terletak di
benua Afrika. Dengan ribuan gugusan pulaunya, bukan tak mungkin Indonesia
menjadi sarang berkembangnya berbagai macam peradaban yang meninggalkan ribuan
corak kebudayaan yang kemudian di klasifikasikan menurut asal dan jenisnya.
Dalam masyarakat
Indonesia, terdapat berbagai macam persekutuan atau gemeenschappen berdasarkan teritorial, genelogis, atau gabungan
keduanya yang kemudian membentuk kesatuan sosial atau sociale eenheden yang disebut ilmu Antropologi sebagai klan.
Kerjasama antara kedua faktor ini membawa berbagai tipe susunan masyarakat yang
memiliki berbagai jenis kebudayaan, salah satunya mengenai adat dan segala
peraturannya yang mengikat sekelompok masyarakat yang memegang teguh tradisi
tersebut. Setiap masyarakat yang mendiami suatu wilayah teritorial memiliki
adat tersendiri. Gabungan dari adat inilah yang kemudian menjadi cerminan
kepribadian bangsa Indonesia karena merupakan cerminan jiwa bangsa dari abad
keabad. Karena ketidaksamaanya, maka adat menjadi unsur terpenting untuk
memberikan identitas bagi suatu daerah. Tingkatan peradaban, maupun cara
penghidupan modern rupanya belum mampu menggeser nilai adat-kebiasaan yang
hidup dalam masyarakat, melainkan melebur bersama kemajuan zaman dan melalukan
penyesuaian sesuai keadaan dan kehendak zaman hingga tampak kekal dan segar
oleh generasi zaman ini.
Sebagai suatu
sistem dalam masyarakat, adat tak terlepas dari perintah dan larangan yang
kemudian disebut dengan hukum adat. Meskipun merupakan bagian dari hukum tidak
tertulis unwritten law, hukum adat
ditaati oleh masyarakat hukum adat yang menganutnya. Masyarakat Hukum Adat merupakan komunitas (paguyuban) sosial manusia
yang merasa bersatu karena terikat oleh kesamaan leluhur dan atau wilayah
tertentu, mendiami wilayah tertentu, memiliki kekayaan sendiri, dipimpin oleh
seorang atau beberapa orang yang dipandang memiliki kewibawaan dan kekuasaan,
dan memiliki tata nilai sebagai pedoman hidup, serta tidak mempunyai keinginan
untuk memisahkan diriNamun tidak semua adat merupakan hukum. Ada
perbedaan signifikan antara adat-istiadat biasa dan hukum adat. Menurut Van
Vollenhoven, hanya adat yang memiliki sanksilah yang dapat digolongkan sebagai
hukum adat.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang ada, permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah :
1.2.1
Apa yang dimaksud dengan Masyarakat,
Golongan, Bentuk, Faktor Pendorong Hidup, dan Tata Hidup Kemasyarakatan?
1.2.2
Bagaimana Pengertian Budaya dan
Kebudayaan, Adat, serta Hukum Adat?
1.2.3 Apa yang dimaksud dengan Masyarakat
Hukum adat berserta Unsur, Fungsi, Dasar, dan Bentuk-Bentuknya?
1.3 Tujuan
Dalam menulis makalah
ini, tujuan yang ingin dicapai penulis adalah :
1.3.1
Menjelaskan Pengertian, Golongan,
Bentuk, Faktor Pendorong Hidup, dan Tata Hidup Kemasyarakatan
1.3.2
Menjelaskan Pengertian Budaya dan
Kebudayaan, Adat, dan Hukum Adat
1.3.3
Merumuskan Pengertian, Unsur, Fungsi,
Dasar, dan Bentuk Masyarakat Hukum Adat
1.4 Metode Penulisan
1.4.1
Studi Pustaka
1.4.2
Internet
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Masyarakat
2.1.1 Pengertian
Manusia hidup sesuai kodrat alam yang dibentuk sejak
awal bahwa manusia selalu hidup bersama, entah itu secara berkelompok,
berpasang-pasangan, atau setidaknya terdiri dari dua orang. Hal ini disebabkan
perasaan dan hasrat ingin berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok atau
bermasyarakat yang ada dalam diri manusia. Aristoteles, seorang Filsuf Yunani
mengemukakan ajaran mengenai Zoon Politicon yang merujuk pada perilaku hidup
manusia yang didasari oleh sifat bergaul dan berkumpul, dengan kata lain
manusia disebut sebagai homo social atau
makhluk sosial yang sejak lahir, hidup berkembang, hingga meninggal dunia
diantara masyarakat[1].
Persatuan manusia yang timbul dari kodrat yang sama itu lazim disebut sebagai
masyarakat. Persatuan manusia ini dapat terbentuk apabila terdapat dua orang
atau lebih hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup tersebut timbul
berbagai hubungan atau pertalian yang menyebabkan seorang dengan yang lain
saling kenal dan mempengarugu. Dengan perilaku komunal inilah, manusia dapat
memperoleh sesuatu dengan mudah atas dasar kerjasama.
2.1.2 Golongan
dalam Masyarakat
Di dalam suau masyarakat, lazimnya dikenal berbagai
golongan atau kelompok yang timbul karena suatu hubungan tertentu. Menurut ilmu
Sosiologi, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
a. Perasaan
tertarik karena orang lain
b. Mempunyai
perasaan suka atau tertarik yang sama dengan orang lain
c. Merasa
memerlukan kekuatan atau bantuan dari orang lain
d. Mempunyai
hubungan darah, kekerabatan, atau daerah dengan orang lain
e. Mempunyai
hubungan kerja dengan orang lain
Sifat
dari golongan atau kelompok ini beragam, tergantung dari dasar dan tujuan
perhubungan itu dibuat yang pada umumya dibagi atas tiga macam golongan besar[2],
yaitu:
a. Golongan
berdasarkan hubungan kekeluargaan, seperti perkumpulan atau arisan keluarga,
perkumpulan berdasarkan suku atau daerah (contohnya, perkumpulan masyarakat
adat di kota A)
b. Golongan
berdasarkan hubungan kepentingan atau pekerjaan, seperti perkumpulan ekonomi,
koperasi, serikat pekerja, perkumpulan sosial, perkumpulan kesenian, dan
olahraga.
c. Golongan
berdasarkan hubungan tujuan atau pandangan hidup (ideologi), seperti partai
politik, perkumpulan keagamaan, dan organisasi kemahasiswaan.
Dalam suatu golongan, acapkali ditemukan
semangat khusus yang berbeda dari golongan lain juga kerap diwarnai perasaan
lebih penting atau berkuasa atas golongan lain. Hal ini sering kali menjadi
ancaman yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh sebab itu, Negara
yang merupakan penjelmaan organisasi masyarakat yang berkekuatan hukum tetap
mempunyai kewajiban untuk mengatur agar keamanan terjamin dan perlindungan atas
kepentingan tiap orang agar terciptanya keadilan yang merata dalam masyarakat.
2.1.3 Bentuk
Masyarakat
Masyarakat sebagai bentuk pergaulan hidup memiliki
bermacam-macam ragam, diantaranya berdasarkan pada :
A. Hubungan
yang Diciptakan Anggota
1. Masyarakat
Paguyuban (gemeinschaft)
Apabila hubungan
tersebut menimbulkan ikatan batin, misalnya rumah tangga dan perkumpulan
kematian.
2. Masyarakat
Patembayan (gesellschaft)
Apabila hubungan
tersebut bersifat tidak-kepribadian dan bertujuan mencapai keuntungan
kebendaan, misalnya firma dan Perseroan Terbatas (PT).
B. Hubungan
atas Sifat Pembentukannya
1. Masyarakat
Teratur
a. Teratur
Sengaja
Masyarakat ini dengan sengaja
diatur untuk maksud dan tujuan tertentu, sesuai awal mula pembentukkannya,
misalnya tujuan olahraga.
b. Teratur
Sendirinya
Masyarakat ini tidak
diatur, namun proses pengaturan itu terjadi dengan sendirinya karena
orang-orang bersangkutan di dalam kelompok tersebut mempunyai kepentingan
bersama, misalnya kelompok belajar atau diskusi.
2. Masyarakat
Tidak Teratur
Masyarakat yang tidak
teratur karena tidak adanya kesadaran akan kepentingan yang sama atau memiliki hasrat untuk mendahului satu sama
lain, meskipun adanya aturan atau norma, misalnya pendukung klub sepakbola yang
bertikai dan pengguna jalan yang ricuh akibat kemacetan.
C. Hubungan
Kekeluargaan
Merupakan hubungan yang terjalin dikarenakan adanya
pertalian darah atau kekerabatan yang disebabkan oleh kawin-mawin, misalnya
rumah tangga, sanak saudara, suku, dan bangsa.
D. Hubungan
Peri-Kehidupan atau Kebudayaan
Merupakan hubungan yang terjadi karena banyak faktor
sehingga munculnya persilangan kultur atau trans
culture yang dialami oleh masyarakat sehingga terjadi percampuran
kebudayaan dan peri-kehidupan, dibagi atas[3]:
1. Masyarakat
Primitif dan Masyarakat Moderen
2. Masyarakat
Desa dan Masyarakat Kota
3. Masyarakat
Territorial (Anggotanya bertempat tinggal dalam satu daerah)
4. Masyarakat
Genealogis (Anggotanya mempunyai
pertalian darah atau seketurunan)
5. Masyarakat
Teritorial-Genealogis (Anggotanya
bertempat tinggal dalam satu daerah dan mereka seketurunan)
2.1.4 Pendorong
Hidup Bermasyarakat
Faktor
penyebab manusia selalu hidup bermasyarakat disebut dengan faktor pendorong
yang biasanya terdapat dalam naluri manusia yang dikenal juga sebagai dorongan
kesatuan biologis (internal), terdiri dari:
a. Hasrat
untuk memenuhi keperluan makan dan minum
b. Hasrat
untuk membela diri
c. Hasrat
untuk mengadakan keturunan
Selain dari keingininan yang timbul dari
naluri dan kodrat alam tersebut, ada faktor-faktor pendorong lain yang muncul
dari luar pribadi seorang manusia, yaitu:
a. Ikatan
pertalian darah
b. Persamaan
nasib
c. Persamaan
agama
d. Persamaan
bangsa, bahasa, maupun cita-cita kebudayaan
2.1.5 Tata
Hidup Bermasyarakat
Masing-masing
individu memiliki sifat, watak, dan kehendak pribadi yang berlainan. Namun
ketika bermasyarakat, manusia mengadakan hubungan satu sama lain seperti
mengadakan kerja sama, tolong-menolong, perjanjian, atau hal lain yang
berfungsi mempermudah hidup keseharian.
Dalam melakukan perhubungan tersebut, sering kali
kepentingan-kepentingan personal itu bertentangan hingga menimbulkan pertikaian
yang mengganggu keselarasan hidup bersama sebagai suatu masyarakat, yang dalam
hal ini dapat dikenal sebagai homo homini
lupus, yaitu ketika manusia dapat menjadi serigala bagi manusia lain.
Istilah ini yang kemudian diartikan dalam situasi konkret ketika orang atau
golongan yang kuat atau berkuasa
menindas mereka yang lemah untuk menekan kehendaknya.
Ketika
terjadi ketidakseimbangan dalam
perhubungan masyarakat yang dibiarkan hingga frekuensinya meningkat menjadi
perselisihan yang berkemungkinan besar berdampak pada pecahnya masyarakat. Oleh
karena itu, dalam membentuk masyarakat teratur, setiap anggotanya wajib
memperhatikan kaidah dan norma yang ada dimasyarakat dimana ia hidup.
Karena
sadar atau tidak, manusia selalu dipengaruhi oleh peraturan-peraturan hidup
bersama yang berfungsi untuk menekan hawa nafsu dan mengatur perhubungan antar
manusia[4]
berdasarkan pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai petunjuk bagi
manusia bagaimana harus bertingkah laku dan bertindak dalam masyarakat.
Peraturan hidup yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertib
dalam masyarakat disebut hukum, yang juga tertuang dalam adat istiadat atau
kebiasaan suatu masyarakat.
2.2 Adat
2.2.1 Pengertian
Budaya dan Kebudayaan
Menyimak soal budaya, yang dalam bahasa Sansakerta
disebut dengan buddhayah yang
merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang
berarti budi atau akal. Dalam bahasa Latin, budaya disebut dengan colere yang kemudian diadopsi Inggris
menjadi culture yang berarti mengolah
atau mengerjakan, kemudian diserap oleh tata bahasa Indonesia menjadi kultur. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), budaya atau kultur sendiri berarti pikiran, akal budi, atau
adat-istiadat. Sedangkan defenisi kebudayaan dapat diartikan sebagai segala hal
yang berkaitan dengan akal atau pikiran manusia, sehingga dapat menunjuk pada
pola pikir, perilaku, serta karya fisik dari sekelompok manusia.
Sedangkan menurut Koentjaraningrat, seorang ahli
Antropologi berkebangsaan Indonesia, kebudayaan ialah seluruh sistem gagasan
dan rasa, tindakan, serta karya hasil manusia dalam kehidupan bermasyarakat
yang dijadikan milik masyarakat tersebut dengan belajar. Sesuatu yang
dipelajari oleh masyarakat penerus kebudayaan ini yang selanjutnya disebut
dengan adat istiadat. Dari hal ini ini kemudian dipahami bahwa pewarisan budaya
atau kebudayaan suatu kelompok masyarakat melalui proses pendidikan dari
leluhur kepada generasi selanjutnya. Proses ini memungkinkan adanya
keberlanjutan dari suatu siklus adat yang diturunkan dari zaman dahulu dan
diyakini teguh oleh yang menganutnya walaupun perputaran roda zaman telah
bergerak semakin jauh.
2.2.2 Pengertian
Adat
Menurut
Jalaludi Tunsam, adat berasal dari bahasa Arab yaitu adah dalam bentuk jamak yang berarti cara atau kebiasaan. Adat
merupakan suatu gagasan kebudayaan yang juga mengandung nilai-nilai budaya,
norma, kebiasaan, serta hukum yang lazimnya dilakukan oleh suatu kelompok
masyarakat yang mempercayainya. Dalam sebuah sistem adat dikenal tiga poin
utama yang mempengaruhi kehidupan suatu masyarakat, yaitu struktur adat,
kebiasaan adat dan hukum adat. Struktur adat merupakan bagian dari sub sistem
adat yang membagi masyarakat-masyarakat adat menjadi beberapa bagian besar yang
lazimnya dikenal sebagai kasta. Kebiasaan adat biasanya berupa hal-hal yang
sering dilakukan secara turun temurun berupa ritual adat, kesenian, dan
sebagainya yang dianggap sebagai kebudayaan masyarakat tersebut. Sedangkan
hukum adat merupakan sanksi atau hukuman yang diberikan ketika kebiasaan adat
atau custom tersebut dilanggar.
Dalam
masyarakat Indonesia, terdapat berbagai macam persekutuan atau gemeenschappen berdasarkan teritorial,
genelogis, atau gabungan keduanya yang kemudian membentuk kesatuan sosial atau sociale eenheden yang disebut ilmu
Antropologi sebagai klan. Kerjasama antara kedua faktor ini membawa berbagai
tipe susunan masyarakat yang memiliki berbagai jenis kebudayaan, salah satunya
mengenai adat dan segala peraturannya yang mengikat sekelompok masyarakat yang
memegang teguh tradisi tersebut. Setiap masyarakat yang mendiami suatu wilayah
teritorial memiliki adat tersendiri. Gabungan dari adat inilah yang kemudian
menjadi cerminan kepribadian bangsa Indonesia karena merupakan cerminan jiwa
bangsa dari abad keabad[5].
Karena ketidaksamaanya, maka adat menjadi unsur terpenting untuk memberikan
identitas bagi suatu daerah. Tingkatan peradaban, maupun cara penghidupan
modern rupanya belum mampu menggeser nilai adat-kebiasaan yang hidup dalam
masyarakat, melainkan melebur bersama kemajuan zaman dan melalukan penyesuaian
sesuai keadaan dan kehendak zaman hingga tampak kekal dan segar oleh generasi
zaman ini.
2.2.3 Hukum
Adat
Sebagai suatu sistem dalam masyarakat, adat tak
terlepas dari perintah dan larangan, yang kemudian disebut dengan hukum adat[6]. Menurut
Mr. B. Ter Haar Bzn, dalam pidato Dies Natalis tahun 1930 dengan judul “Peradilan Laandraad Berdasarkan Hukum Tidak
Tertulis” dan orasi ilmiahnya tahun 1937 dengan judul “ Hukum Adat Hindia Belanda di dalam Ilmu, Praktek, dan Pengajaran” menjelaskan
Hukum Adat dengan beberapa kesimpulan, yaitu[7]:
a. Hukum
adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan baik oleh warga
masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang
membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam dalam hal
bertentangan dengan kepentingan. Perkembangan zaman juga dapat menyebabkan
hukum adat yang lahir dari keputusan hakim yang mengadili sengketa sepanjang
tidak bertentangan dengan hukum rakyat melainkan seirama dengan kesadaran
tersebut, diterima, diakui, atau ditoleransi oleh budaya untuk melahirkan suatu
hukum adat baru atau sebagai keputusan yang diadopsi oleh adat sebagai
ketentuan adat yang mengikat.
b. Hukum
adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan para
fungsionaris hukum (dalam arti luas mencakup hakim, kepala adat, rapat desa,
wali tanah, petugas bidang keagamaan, dan lainnya) yang mempunyai wibawa atau
kekuasaan (authority) serta
berpengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta atau spontan dan
dipatuhi dengan sepenuh hati. Dengan demikian, hukum adat yang demikian itu
berlaku dan dapat diketahui dalam bentuk keputusan-keputusan dari para
fungsionaris hukum tersebut.
c. Untuk
melihat apakah sesuatu adat istiadat sudah merupakan hukum adat, maka wajib
dilihat sikap penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan terhadap pelanggar
peraturan adat istiadat. Jika penguasa terhadap pelanggar menjatuhkan putusan
hukuman, maka adat istiadat tersebut sudah merupakan hukum adat[8]
(Teori Keputusan).
Meskipun kebanyakan merupakan bagian dari hukum
tidak tertulis atau unwritten law, hukum
adat ditaati oleh masyarakat yang menganutnya. Namun tidak semua adat merupakan
hukum. Ada perbedaan signifikan antara adat-istiadat biasa dan hukum adat.
Menurut Van Vollenhoven, hanya adat yang memiliki sanksilah yang dapat
digolongkan sebagai hukum adat. Sanksi ini biasanya berasal dari masyarakat
adat tersebut yang terwakilkan dalam beberapa orang penguasa yang ditunjuk
sebagai pemimpin dalam masyarakat berdasarkan beberapa kriteria, yang berfungsi
ganda sebagai pemimpin juga hakim yang mengadili berbagai masalah dan sengketa
adat.
2.3 Masyarakat Hukum Adat
2.3.1 Pengertian
Menurut Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara,
pengertian Masyarakat Hukum Adat ialah komunitas-komunitas yang hidup
berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun diatas suatu wilayah adat,
yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya,
yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan
kehidupan masyarakatnya. Sedangkan istilah Masyarakat Hukum Adat merupakan
terjemahan dari istilah rechtsgemeenchappen. Istilah ini pertama kali
ditemukan dalam buku Mr. B. Ter Haar Bzn. yang berjudul “Beginselen en
Stelsel van Hat Adat Recht‟[9].
Masyarakat Hukum Adat merupakan
komunitas (paguyuban) sosial manusia yang merasa bersatu karena terikat oleh
kesamaan leluhur dan atau wilayah tertentu, mendiami wilayah tertentu, memiliki
kekayaan sendiri, dipimpin oleh seorang atau beberapa orang yang dipandang
memiliki kewibawaan dan kekuasaan, dan memiliki tata nilai sebagai pedoman
hidup, serta tidak mempunyai keinginan untuk memisahkan diri[10].
Perkembangan selanjutnya dari kajian hukum,
penggunaan istilah Masyarakat Hukum Adat banyak ditemukan ketika para ahli
hukum membahas tentang isu Sumber Daya Alam (selanjutnya disingkat SDA).Di mana
dalam kajian hukum tentang SDA ini banyak dibahas pertemuan antara kepentingan
dan aturan yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat berhadapan dengan Negara.
Sebetulnya, dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang sumber daya
alam produk Negara, telah diatur syarat-syarat pengakuan dan penghormatan terhadap
Masyarakat Hukum Adat.
Pengaturan termutakhir adalah pada amandemen kedua
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara khusus pada
ketentuan Pasal 18 B Ayat 2. Pengaturan mengenai Masyarakat Hukum Adat
ditempatkan sebagai bagian dari pengaturan tentang Pemerintah Daerah. Istilah
yang digunakan di dalam Pasal tersebut adalah “kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat“. Sebelum istilah
Masyarakat Hukum Adat dimuat dalam Amandemen Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, berbagai peraturan perundang-undangan telah
lebih dahulu menyebutkannya. Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, secara khusus pada Pasal2 (4) yang
mengatur bahwa:
“Hak menguasai
dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”.
Kemudian juga pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, Pasal 4 Ayat (3) di mana diatur bahwa:
“Penguasaan
hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional”.
Akan tetapi kedua Undang-Undang yang disebutkan di
atas tidak menjelaskan secara terinci mengenai konsep masyarakat hukum adat tersebut.
Dalam UU No. 41 Tahun 1999 bahkan disebutkan bahwa (masyarakat hukum adat) “sepanjang kenyataannya masih ada” dan “diakui keberadannya”. Hal tersebut
menyebabkan potensi multi tafsir dan menjadi lahan subur terjadinya konflik
norma dalam praktek kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, terutama dalam
konteks hubungan antara kekuasaan, pengakuan, dan penghormatan. Keadaan
tersebut menyebabkan pengakuan dan penghormatan yang dihajatkan terhadap
Masyarakat Hukum Adat tidak dapat dilaksanakan. Potensi multi tafsir misalnya
dapat dilihat dari aspek “siapa yang
termasuk dalam Masyarakat Hukum Adat” tersebut. Hal tersebut menimbulkan
perdebatan tentang identitas personal individu yang berada dalam kelompok
Masyarakat Hukum Adat, berkaitan dengan pengakuan menyangkut hubungan kelompok
(Masyarakat Hukum Adat) dengan perorangan sebagai anggota dalam satu kesatuan
Masyarakat Hukum Adat.
Berbagai peraturan lain dalam bidang hukum SDA menggunakan
istilah yang berbeda-beda, seperti: Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat dan
Masyarakat Tradisional. Persoalannya, keberagaman tersebut tidak hanya
menyangkut istilah, tetapi juga berdampak pada keragaman pemaknaan pula atas
batasan kelembagaan dari Masyarakat Hukum Adat itu. Dalam ranah aplikatif
ketentuan normatif diperlukan terjemahan yang tegas, baik tentang pengertian,
jenis dan bentuk Masyarakat Hukum Adat, sehingga dengan demikian pengakuan dan
perlindungan tersebut dapat dilaksanakan oleh Negara. Pengakuan dan
perlindungan yang dilaksanakan oleh Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat,
dapat terwujud apabila ada landasan hukumnya dalam bentuk aturan perundang-undangan,
yaitu Undang-undang tentang Masyarakat Hukum Adat.
2.3.2 Unsur
Masyarakat Adat
Berdasarkan pengertisan menurut Dr. Dominikus Rato,
S.H, M.Si dalam bukunya Pengantar Hukum
Adat, terdapat setidaknya 5 unsur dalam Masyarakat Hukum Adat, yaitu :
a. Ada
komunitas manusia yang merasa bersatu, terikat oleh perasaan kebersamaan karena
kesamaan keturunan (geneologis)
dan/atau wilayah teritorial
b. Mendiami
wilayah tertentu, dengan batas-batas tertentu menurut konsepsi mereka
c. Memiliki
kekayaan sendiri baik kekayaan material maupun immaterial
d. Dipimpin
oleh seorang atau beberapa orang sebagai perwakilan kelompok, yang memiliki
kewibawaan dan kekuasaan yang legal atau didukung oleh kelompoknya
e. Memiliki
tata nilai sebagai pedoman daman kehidupan sosial mereka
f. Tidak
ada keinginan dari anggota kelompok itu untuk memisahkan diri
Dilihat dari unsur-unsur diatas,
masyarakat hukum adat bukanlah badan hukum biasa sebagaimana badan hukum
lainnya. Masyarakat hukum adat memiliki kewibawaan dan kekuasaan untuk
membentuk, melaksanakan, membina, sekaligus melakukan evaluasi baik terhadap
perilaku anggota masyarakat maupun terhadap isi hukum. Jika dilihat dari teori
sistem hukum oleh Laurence F. Friedman[11],
maka masyarakat adat dapat digolonkan sebagai struktur hukum. Akan tetapi,
jikalau dilihat secara yuridis maka masyarakat hukum adat bukan hanya dilihat
sebagai struktur melainkan sebagai subyek dari hukum yang bertugas melaksanakan
hukum.
2.3.3 Fungsi
Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat menurut Van Vollenhoven
diidentikkan sebagai bingkai yang didalamnya terdapat corak hukum adat yang
menyebabkan hukum adat suatu masyarakat berbeda satu dengan yang lain. Jadi,
selaku bingkai masyarakat hukum adat turut menentukan kepribadian hukum adat
atau substansi hukum adat yang dibingkainya, dapat juga disamakan dengan peta
atau denah dari halaman bekerja dan berlakunya hukum adat tersebut. Berdasarkan
fungsi yang demikian, dapat dilihat secara sosiologis bahwa hubungan masyarakat
dengan hukum tak dapat dipisahkan.
Karena pada dasarnya, hukum tak akan berarti apa-apa
tanpa masyarakat yang terdiri dari individu pendukung hak dan kewajiban atau
subyek hukum. Karena pada subyeknya mendukung hukum untuk hidup, bekerja,
memanfaatkan, dan dihormati untuk dilaksanakan baik melaksanakan
perintah-perintahnya maupun larangan-larangannya, sekaligus menaati sanksi yang
dikenakan kepadanya. Hukum menjadi mati jika para subyek hukum tidak mendukung,
menentang, dan tidak menaati larangan atau sanksi yang dijatuhkan kepadanya.
Hukum yang seperti ini disebut dengan disfungsi hukum karena tidak berguna bagi
masyarakat. Sering kali, hukum yang terdisfungsi ini justru membatasi
kesejahteraan masyarakat atau mengeksploitasi masyarakat, lingkungan hidup,
kekayaan alam, bahkan hukum dipakai sebagai alat politik dari kelompok tertentu
untuk menguasai kelompok lainnya (hukum ekploitatif).
Fungsi lain dari masyarakat hukum dapat menentukan
struktur hukum, begitu pula masyarakat hukum adat terdapat hukum adat yang akan
berlaku. Hal ini dapat dilihat dari sifat dan ciri khas masing-masing hukum
adat dalam pembentukkan norma-norma hukumnya. Misalnya masyarakat hukum adat
Adonara menganut sistem hukum patrilineal menentukan pula hukum kekerabatan,
perkawinan, sampai hukum waris. Hal itu terjadi bukan karena sistem patrilinealnya,
tetapi karena masyarakat Adonara sebagai masyarakat hukum adat yang menentukan
kekhasannya.
2.3.4 Dasar
Pembentuk Masyarakat Hukum Adat
Mengenai masyarakat hukum adat, secara teoritis
pembentukkannya disebabkan karena adanya faktor ikatan yang mengikat
masing-masing anggota masyarakat hukum adat tesebut, yaitu[12] :
a. Faktor
Genealogis (keturunan)
b. Faktor
Teritorial (wilayah)
2.3.5 Bentuk
Masyarakat Hukum Adat
Berdasarkan kedua faktor ikatan diatas maka
terbentuklah masyarakat hukum adat yang dalam studi hukum adat disebut dengan
tipe atau bentuk masyarakat hukum adat, yaitu :
a. Masyarakat
Hukum Adat Genealogis (Keturunan)
Anggota-anggota
kelompok itu terikat karena merasa berasal dari nenek moyang yang sama atau
satu darah. Oleh karena itu, hukum adat atau aturan-aturan hukum adat yang
diturunkan oleh leluhur itu dipandang sebagai suatu nilai yang wajib dijalankan
atau ditegakkan dalam masyarakat. Pembaginan masyarakat hukum adat genealogis
ini dapat dibagi atas tiga bagian besar, yaitu :
1. Masyarakat
Patrilineal
Merupakan masyarakat
yang susunannya ditarik menurut garis keturunan ayah (laki-laki), sedangkan
garis keturunan ibu (perempuan) disingkirkan. Contohnya keturunan masyarakat
Adonara yang menggunakan marga dari garis keturunan ayah, sedangkan marga ibu (perempuan)
tidak dipakai.
2. Masyarakat
Matrilineal
Merupakan masyarakat
yang susunannya ditarik menurut garis keturunan ibu (perempuan), sedangkan
garis keturunan ayah (pria) disingkirkan. Contohnya keturunan masyarakat Bajawa
yang menggunakan marga dari garis keturunan ibu, sedangkan marga ayah
(laki-laki) tidak dipakai.
3. Masyarakat
Bilateral atau Parental
Merupakan masyarakat
yang susunannya ditarik menurut garis keturunan orang tuanya, yaitu ayah
(laki-laki) dan ibu (perempuan) secara bersamaan.
Jadi, hubungan
kekerabatan antara pihak ayah dan ibu berjalan seimbang atau sejajar.
Masing-masing anggota kelompok masuk kedalam klan ayah dan ibu. Contohnya di
Mollo (Timor) dan daerah Melanesia lainnya.
b. Masyarakat
Hukum Adat Teritorial (Wilayah)
Mengenai persekutuan
hukum ini, dasar pengikat utama anggota kelompoknya adalah daerah kelahiran dan
menjalani kehidupan bersama di tempat yang sama. Menurut R. Van Dijk (1954),
bentuk masyarakat hukum adat teritorial ini dibedakan atas tiga macam, yaitu:
1. Bentuk
masyarakat desa (dorp)
Termasuk dalam
persekutuan desa seperti desa orang Jawa yang merupakan suatu tempat kediaman
bersama di dalam daerahnya sendiri sendiri termasuk beberapa pedukuhan yang
terletak disekitarnya yang tunduk pada perangkat desa yang berkediaman di pusat
desa.
2. Bentuk
masyarakat daerah (streek)
Termasuk persekutuan
daerah seperti kesatuan masyarakat Nagari
di Minangkabau, Negorij di
Minahasa juga beberapa daerah di Maluku. Di masa lampau, daerah ini merupakan
kediaman bersama dan menguasai tanah hak ulayat bersama yang terdiri dari
beberapa dusun atau kampung dengan satu pusat pemerintahan adat bersama.
3. Bentuk
masyarakat perserikatan dari beberapa desa
Termasuk perserikatan
desa apabila diantara beberapa desa yang terletak berdampingan yang
masing-masingnya berdiri sendiri mengadakan perjanjian kerja sama untuk
mengatur kepentingan bersama, misalnya kepentingan dalam mengatur pemerintahan
adat bersama, pemerintahan bersama, kehidupan ekonomi, pertanian, maupun
pemasaran hasil pertanian bersama menurut Undang-Undang Pemerintahan Desa Nomor
5 Tahun 1979.
Dari tiga jenis masyarakat hukum adat yang
bersifat teritorial, yang merupakan pusat pergaulan sehari-hari adalah desa,
hutan, dan dusun yang ditinjau dari segi organisasi sosial maupun dari perasaan
perikatan yang bersifat tradisional yang dipimpin oleh kepala desa yang kadang
kala merupakan kepala adat, meliputi tiga bidang yaitu :
a. Urusan
tanah
b. Penyelenggaraan
tata tertib sosial dan tata tertib hukum supaya kehidupan sosial tersebut
berjalan sebagaimana mestinya serta mencegah terjadinya pelanggaran hukum
c. Usaha
yang tergolong dalam penyelenggaraan hukum untuk mengembalikan atau memulihkan
rasa tata tertib sosial atau tertib hukum serta keseimbangan atau harmoni (evenwicht) menurut ukuran yang bersumber
pada pandangan religio-magis
Hal
yang kemudian menjadi berdebatan adalah zaman Orde Baru yang digunakan
pemerintah untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi terhadap desa di seluruh
pelosok tanah air melalui Undang-Undang, yaitu UU No.5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah jo UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan
Kelurahan. Upaya ini dianggap khalayak sebagai upaya menghancurkan sendi-sendi
pemerintahan desa dan kelurahan tradisional warisan leluhur setelah
dimodernisasikan. Namun modernisasi ini lebih bersifat politis dari pada segi
penyejahteraan rakyat berdasarkan kearifan lokal karena upaya ini dimaksudkan
agar masyarakat pemerintahan desa dan kelurahan berserta masyarakatnya berada
di satu kekuasaan yaitu Orde Baru yang karenanya menghancurkan sifat pemerintahan
gaya tradisional tersebut.
Upaya
ini kemudian direvitalisasi oleh masa reformasi meskipun agak terlambat karena
pada kenyataannya, banyak desa yang terlanjur kehilangan nilai tradisionalnya.
Upaya itu dilaksanakan lewat UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dengan peraturan pelaksanaannya yaitu PP No. 76
Tahun 2001 jo PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
c. Masyarakat
Hukum Adat Genealogis-Teritorial
Pengikat
masyarakat hukum adat ini adalah kedarahan atau kedaerahan. Adanya suatu
masyarakat genealogis atau keturunan tanpa terikat dengan suatu wilayah
sangatlah tidak mungkin. Sebab, tidak ada suatu masyarakat pun yang tidak
terikat pada wilayah atau teritorial tertentu, karena masyarakat hidup dan
menetap diatas tanah atau wilayah. Oleh karena itu komunitas terbanyak yang
berada di Indonesia adalah komunitas genealogis-teritorial. Kesatuan masyarakat
ini tetap dan teratur karena setelah terikat hubungan darah, mereka juga
terikat oleh wilayah sehingga secara turun temurun mendiami suatu kawasan yang
pada akhirnya di klaim sebagai wilayah adat mereka. Contohnya adalah masyarakat
hukum adat Uleeko di Ngada.
[1]Drs. C. S. T Kansil, S.H,. 1984,.
Pengantar Ilmu Hukum & Tata Hukum Indonesia,. Balai Pustaka,. Jakarta,.
Hal. 30
[2] Ibid,. Hal. 31
[3] Ibid,. Hal. 32
[4] Drs. B. Simandjuntak, S.H,.
1981,. Pengantar Kriminologi dan Patologi
Sosial,. Tarsito,. Bandung,. Hal. 106
[5] Soerojo Wignjodipoero, S.H,.
1995,. Pengantar dan Asas-Asas Hukum
Adat,. Gunung Agung,. Hal. 13
[6] Prof. M.M Djojodigoeno, S.H,.
1958,. Asas-Asas Hukum Adat,. Yayasan Badan Penerbit GAMA,. Yogyakarta,.
Hal. 15
[7] Opcit,. Hal. 15
[8] Opcit,. Hal. 17
[9] Mr. B. Ter Haar Bzn diterjemahkan
K. Ng. Soebakti Poesponoto,. 1987,. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en Stelsel van Hat Adat Recht)”,.
Pradnya Paramitha,. Jakarta,. Hal. 6
[10] Dr. Dominikus Rato, S.H, M.Si,.
2009,. Pengantar Hukum Adat,. LaksBang
PRESSindo,. Yogyakarta,. Hal. 107
[11] Lawrence M. Friedman
diterjemahkan Wishnu Basuki,. 2001,. An
Introduce of American Law,. Tata Nusa, Jakarta,. Hal: 60
[12] Prof. Dr. C. Dewi Wulansari,
S.H, M.H, S.E, MM,. 2009,. Hukum Adat
Indonesia-Suatu Pengantar,. Refika Aditama,. Bandung,. Hal. 25
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Persatuan
manusia dapat terbentuk apabila terdapat dua orang atau lebih hidup bersama,
sehingga dalam pergaulan hidup tersebut timbul berbagai hubungan atau pertalian
yang menyebabkan seorang dengan yang lain saling kenal dan mempengaruhi. Dengan
perilaku komunal inilah, manusia dapat memperoleh sesuatu dengan mudah atas
dasar kerjasama. Persatuan manusia yang timbul dari kodrat yang sama itu lazim
disebut sebagai masyarakat, termasuk Masyarakat Hukum Adat. Masyarakat Hukum Adat
menurut Van Vollenhoven diidentikkan sebagai bingkai yang didalamnya terdapat
corak hukum adat yang menyebabkan hukum adat suatu masyarakat berbeda satu
dengan yang lain. Jadi, selaku bingkai masyarakat hukum adat turut menentukan
kepribadian hukum adat atau substansi hukum adat yang dibingkainya, dapat juga
disamakan dengan peta atau denah dari halaman bekerja dan berlakunya hukum adat
tersebut. Berdasarkan fungsi yang demikian, dapat dilihat secara sosiologis
bahwa hubungan masyarakat dengan hukum tak dapat dipisahkan. Karena pada
dasarnya, hukum tak akan berarti apa-apa tanpa masyarakat yang terdiri dari
individu pendukung hak dan kewajiban atau subyek hukum. Mengenai masyarakat
hukum adat, secara teoritis pembentukkannya disebabkan karena adanya faktor yang mengikat masing-masing anggota
masyarakat hukum adat tesebut sehingga muncullah tiga bentuk utama Masyarakat
Hukum Adat yaitu Genealogis, Teritorial, dan Gabungan Genealogis Teritorial.
3.2 SARAN
Diharapkan
generasi ke generasi teteap menjaga kebudayaan dan koloni masyarakat hukum adat
ini agar tidak punah tergerus kemajuan zaman. Terutama mahasiswa sebagai garda
terdepan pembangunan bangsa yang hendaknya menjalankan nilai moral yang
tersebar dalam hukum adat sebagai simbol kearifan lokal yang harus dijaga. Juga
bagi pemerintah sebagai nahkoda bangsa memperhatikan tradisi sosial kultural
dan aplikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar tetap lestari.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Soerjono,
Soekanto. 1981. Meninjau Hukum Adat
Indonesia, Jakarta: CV Rajawali.
C.
S. T Kansil. 1984. Pengantar Ilmu Hukum
& Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Muhammad,
Bushar. 2002. Pokok-Pokok Hukum Ada.
Jakarta: Pradnya Paramitha.
B.
Simandjuntak. 198. Pengantar Kriminologi
dan Patologi Sosial. Bandung: Tarsito.
Wignjodipoero,
Soerojo. 1995,. Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat,. Jakarta: Gunung Agung.
M.M
Djojodigoeno. 1958. Asas-Asas Hukum Adat. Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit GAMA.
Ter
Haar Bzn diterjemahkan K. Ng. Soebakti Poesponoto. 1987. Asas-Asas
dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en
Stelsel van Hat Adat Recht)”. Jakarta: Pradnya Paramitha.
Rato,
Dominikus. 2009,. Pengantar Hukum Adat.
Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.
Lawrence
M. Friedman diterjemahkan Wishnu Basuki. 2001. Pengantar Hukum Amerika (An
Introduce of American Law). Jakarta: Tata Nusa.
Wulansari,
Dewi. 2009. Hukum Adat Indonesia-Suatu
Pengantar. Bandung: Refika Aditama.
Undang-Undang dan Peraturan:
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
PP
No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Internet:
Woltmantuga.blogspot.co.id
www.wisata.nttprov.go.id
Komentar
Posting Komentar